Ekowisata di Lereng Merapi: Potensi Ekonomi & Konservasi

Seiring dengan meningkatnya popularitas Gunung Merapi sebagai destinasi pendakian dan wisata alam di Jogja, muncul pula tantangan baru: bagaimana menjaga kelestarian lingkungan tanpa menghambat potensi ekonomi masyarakat lokal? Di sinilah konsep ekowisata atau pariwisata berkelanjutan memainkan peran penting. Apa saja? Berikut ulasan Explore Jogja.

1. Pemberdayaan Masyarakat Lokal sebagai Mitra Wisata

Ekowisata di lereng Gunung Merapi telah membawa angin segar bagi pembangunan ekonomi masyarakat lokal. Di tengah semangat pelestarian lingkungan dan budaya, muncul berbagai inisiatif dari warga desa-desa sekitar lereng Merapi seperti Selo (Kabupaten Boyolali), Kinahrejo (Kabupaten Sleman), hingga Tunggularum (Kabupaten Klaten) yang bertransformasi menjadi desa wisata berbasis komunitas. Pemberdayaan masyarakat lokal menjadi kunci utama dalam pengembangan wisata berkelanjutan di kawasan rawan bencana ini.

Peran warga tidak lagi hanya sebagai penerima manfaat pasif dari aktivitas wisata, namun telah beralih menjadi mitra aktif dalam rantai pariwisata. Mereka menjalankan berbagai unit usaha mikro seperti homestay, warung makan tradisional, rental motor trail, dan kerajinan tangan khas lokal. Tidak hanya itu, banyak warga yang menjadi pemandu wisata bersertifikat yang memiliki pemahaman mendalam mengenai sejarah, mitologi, dan fenomena geologis Merapi, termasuk kisah spiritual tentang Mbah Maridjan dan peran Gunung Merapi dalam sumbu imajiner budaya Jawa.

Homestay yang dikelola langsung oleh warga desa memberikan pengalaman tinggal yang lebih otentik kepada wisatawan. Pengunjung dapat menikmati suasana perkampungan, mencicipi masakan rumahan khas Merapi seperti sayur lombok ijo dan tempe bacem, serta berinteraksi langsung dengan tuan rumah yang ramah dan informatif. Semua ini menciptakan model wisata yang tak hanya transaksional, melainkan juga edukatif dan relasional.

Kesuksesan pemberdayaan masyarakat di desa wisata Merapi juga tak lepas dari pelatihan yang diberikan oleh pemerintah dan organisasi non-pemerintah. Berbagai pelatihan telah diselenggarakan, mulai dari hospitality, teknik bercerita (storytelling), pengelolaan homestay, hingga digital marketing. Hal ini memungkinkan warga untuk menjangkau wisatawan secara lebih luas melalui platform daring.

Pemberdayaan masyarakat lokal sebagai pelaku utama wisata juga menjadi bentuk nyata dari upaya menjaga keberlangsungan nilai-nilai lokal. Tidak hanya menciptakan lapangan kerja, ekowisata juga menguatkan identitas budaya, merawat nilai gotong royong, serta memperkuat kepedulian terhadap pelestarian lingkungan. Dalam jangka panjang, skema ini bukan hanya berdampak secara ekonomi, tetapi juga menghidupkan kembali peradaban desa di tengah tantangan modernisasi dan globalisasi.

Ekowisata dan Peluang Berkelanjutan di Lereng Gunung Merapi

2. Pengelolaan Sampah dan Lingkungan yang Ketat

Salah satu tantangan utama dalam pengembangan wisata alam adalah persoalan lingkungan, terutama terkait dengan pengelolaan sampah. Gunung Merapi yang setiap tahunnya menerima ribuan pengunjung—baik pendaki, wisatawan edukatif, maupun peserta lava tour merapi—tentu tidak luput dari potensi pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia. Oleh karena itu, dalam konteks ekowisata di lereng Merapi, manajemen sampah menjadi agenda penting yang perlu dijalankan secara serius dan berkelanjutan.

Seiring bertumbuhnya kesadaran masyarakat dan komunitas wisata, muncul berbagai inisiatif berbasis komunitas yang fokus pada edukasi dan aksi nyata untuk menjaga kebersihan kawasan wisata. Salah satu gerakan yang paling menonjol adalah kampanye “Bawa Sampah Turun” yang mengajak para pendaki untuk tidak meninggalkan sampah di jalur maupun di sekitar puncak. Gerakan ini tidak hanya dilakukan melalui imbauan verbal, melainkan juga difasilitasi dengan penyediaan kantong sampah ramah lingkungan yang dibagikan sebelum pendakian.

Di berbagai titik strategis jalur pendakian dan lokasi wisata edukasi, telah disediakan tempat sampah dengan kategori terpisah untuk organik dan anorganik. Hal ini membantu proses pemilahan sampah sejak awal dan mengurangi beban kerja pada saat pengangkutan. Tak hanya itu, beberapa desa wisata seperti Desa Selo dan Desa Pentingsari telah membentuk bank sampah yang tidak hanya membantu pengelolaan limbah, tetapi juga meningkatkan nilai ekonomi dari sampah plastik dan kertas yang bisa didaur ulang.

Program edukasi lingkungan juga rutin dilakukan, khususnya bagi anak-anak sekolah dasar dan menengah yang datang dalam rangka kunjungan edukatif (field trip). Dalam kegiatan tersebut, para siswa diajak mengenal pentingnya menjaga ekosistem Merapi melalui praktik langsung seperti memungut sampah di kawasan hutan, membuat kompos dari daun kering, atau mendaur ulang botol plastik. Kegiatan ini dinilai sangat efektif dalam membentuk kesadaran ekologis sejak dini.

Selain aspek sampah, pengelolaan lingkungan yang ketat juga menyasar praktik wisata ramah lingkungan. Misalnya, para pelaku wisata mulai mengadopsi penggunaan peralatan makan non-plastik seperti piring bambu dan sendok stainless, mengganti kemasan sekali pakai dengan botol air isi ulang, hingga pengaturan jumlah pengunjung untuk mencegah overtourism di lokasi-lokasi rentan.

Langkah preventif lainnya adalah menetapkan zona-zona konservasi yang tidak boleh dimasuki pengunjung. Kawasan ini dikelola oleh Balai Taman Nasional Gunung Merapi dan dijaga oleh ranger serta sukarelawan lokal. Kolaborasi antara lembaga pemerintah, komunitas, dan pelaku usaha lokal inilah yang menjadi fondasi kuat dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan wisata dan kelestarian lingkungan Merapi.

Upaya pengelolaan sampah dan lingkungan yang ketat ini menjadi pondasi penting bagi masa depan ekowisata di Gunung Merapi. Tanpa pengelolaan yang cermat, potensi ekonomi dari sektor wisata justru bisa berubah menjadi bencana ekologis. Oleh karena itu, komitmen bersama antara pelaku wisata, pengunjung, dan pemerintah menjadi hal yang mutlak diperlukan.

Ekowisata dan Peluang Berkelanjutan di Lereng Gunung Merapi

3. Diversifikasi Wisata: Lebih dari Sekadar Pendakian

Selama ini, Gunung Merapi identik dengan aktivitas pendakian dan petualangan ekstrem. Namun, pendekatan ekowisata mendorong pemikiran baru: bagaimana menghadirkan bentuk-bentuk wisata alternatif yang tetap menyuguhkan pengalaman alam dan budaya, namun tidak berfokus pada puncak sebagai satu-satunya tujuan. Inilah konsep diversifikasi wisata yang kini mulai berkembang di lereng Merapi—dengan mengedepankan aspek edukatif, rekreatif, dan partisipatif.

Diversifikasi wisata menjadi penting untuk menghindari overtourism di jalur-jalur pendakian yang sensitif terhadap kerusakan ekologis. Salah satu inovasi yang cukup populer adalah pengembangan wisata edukasi pertanian dan perkebunan. Beberapa desa seperti Nganggring, Plalangan, dan Lencoh mengembangkan kebun buah salak, kebun kopi Merapi, dan ladang sayuran organik sebagai destinasi agrowisata. Di tempat ini, wisatawan tidak hanya melihat pemandangan, tetapi juga dapat belajar tentang teknik budidaya, panen, hingga pengolahan produk hasil tani.

Salah satu bentuk diversifikasi yang menarik perhatian keluarga dan komunitas sekolah adalah camping ground ramah anak dan lansia. Kawasan-kawasan seperti Bumi Perkemahan Kaliurang dan Dusun Plalangan menyediakan fasilitas kemah yang aman dan nyaman, lengkap dengan toilet bersih, tempat ibadah, area api unggun, dan pendamping wisata lokal. Hal ini memungkinkan berbagai kelompok usia menikmati keindahan Merapi tanpa harus mendaki gunung secara ekstrem.

Selain itu, desa-desa wisata di lereng Merapi juga mengembangkan paket trekking edukatif. Jalur trekking ini biasanya melintasi hutan konservasi, sumber mata air, petak-petak tanaman herbal, serta situs sejarah seperti bunker Kaliadem atau petilasan juru kunci Merapi. Dalam perjalanan, peserta akan mendapat penjelasan dari pemandu mengenai flora-fauna khas Merapi, sejarah erupsi, hingga nilai-nilai kearifan lokal dalam menghadapi bencana.

Tidak ketinggalan, wisata edukasi erupsi menjadi salah satu bentuk diversifikasi yang unik. Museum Gunungapi Merapi (MGM) di Kaliurang menjadi contoh nyata integrasi antara ilmu pengetahuan, sejarah, dan pengalaman visual. Di dalam museum, pengunjung dapat melihat koleksi batuan vulkanik, dokumentasi letusan Merapi terdahulu, simulasi gempa, serta video 3D tentang dinamika magma. Hal ini membuka wawasan wisatawan, terutama anak-anak dan pelajar, tentang pentingnya mitigasi bencana geologi.

Diversifikasi wisata ini juga memberi dampak langsung terhadap penyebaran manfaat ekonomi. Jika sebelumnya pendapatan wisata hanya dinikmati oleh operator pendakian dan homestay di sekitar basecamp, kini petani, pengrajin lokal, pelaku UMKM kuliner, dan komunitas seni pun ikut merasakan dampaknya. Produk seperti kopi Merapi, keripik salak, batik motif Merapi, hingga pertunjukan musik tradisional kini menjadi bagian dari rantai ekowisata yang berkelanjutan.

Langkah diversifikasi ini pada akhirnya tidak hanya memberi pilihan yang lebih luas bagi wisatawan, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat lokal dari ketergantungan terhadap satu jenis wisata saja. Jika sewaktu-waktu aktivitas vulkanik meningkat dan pendakian ditutup, masyarakat tetap memiliki sumber pendapatan lain dari wisata alternatif yang telah dikembangkan.

Dengan pendekatan ini, Gunung Merapi tidak lagi semata dikenal sebagai destinasi pendakian ekstrem, tetapi juga sebagai kawasan ekowisata holistik yang menggabungkan keindahan alam, edukasi, budaya, dan pemberdayaan ekonomi lokal.

4. Dukungan Kebijakan Pemerintah dan Kolaborasi Lintas Sektor

Kesuksesan pengembangan ekowisata yang berkelanjutan di kawasan lereng Gunung Merapi tentu tidak bisa berjalan tanpa keterlibatan aktif dari berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat lokal harus berada dalam satu ekosistem yang saling mendukung untuk menciptakan lingkungan wisata yang ramah terhadap alam dan manusia.

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Kabupaten Boyolali, sebagai wilayah administratif utama yang menaungi kawasan Gunung Merapi, telah mengeluarkan berbagai kebijakan strategis dalam mendorong pertumbuhan desa wisata berbasis komunitas. Misalnya, melalui program pendampingan desa wisata, dinas pariwisata memberikan pelatihan manajemen destinasi, penguatan SDM lokal, penyusunan paket wisata, dan bantuan promosi digital. Program ini terbukti mampu meningkatkan daya saing desa-desa seperti Selo, Samiran, dan Tlogolele yang kini menjadi rujukan nasional dalam pengelolaan wisata berbasis masyarakat.

Selain itu, kebijakan tentang zonasi kawasan konservasi dari Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) juga menjadi kunci penting dalam menjaga keseimbangan antara kegiatan wisata dan perlindungan alam. Zona-zona tertentu yang dianggap rawan atau penting secara ekologi, seperti zona inti dan zona rehabilitasi, dibatasi aksesnya, sementara zona pemanfaatan ditetapkan untuk aktivitas wisata yang sudah dirancang dengan sistem berkelanjutan.

Dukungan kebijakan juga mencakup infrastruktur dasar seperti jalan akses, jaringan air bersih, listrik desa, dan jaringan komunikasi. Beberapa jalur wisata dan jalan desa yang dulunya sulit dijangkau kini telah diperbaiki, mempermudah akses wisatawan dan distribusi hasil pertanian lokal. Pemerintah daerah juga aktif menjalin kerja sama dengan perusahaan swasta untuk program Corporate Social Responsibility (CSR), misalnya dalam membangun fasilitas MCK di jalur trekking, ruang edukasi alam, hingga sentra UMKM.

Kolaborasi lintas sektor yang paling mencolok adalah keterlibatan LSM dan komunitas lingkungan hidup dalam mendampingi pengembangan ekowisata Merapi. Organisasi seperti Green Community Merapi, Mapala perguruan tinggi, hingga kelompok pegiat konservasi alam secara rutin mengadakan program edukasi lingkungan, pelatihan zero waste, dan kampanye reboisasi kawasan lereng Merapi. Kegiatan ini tidak hanya meningkatkan kesadaran ekologi masyarakat setempat, tetapi juga melibatkan wisatawan sebagai peserta aktif dalam pelestarian.

Tak kalah penting adalah peran akademisi dan lembaga riset dalam mengawal kualitas dan keberlanjutan ekowisata. Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), misalnya, terlibat dalam riset partisipatif mengenai dampak wisata terhadap ekonomi desa dan perubahan sosial di lereng Merapi. Data dan rekomendasi hasil riset ini kemudian digunakan oleh pemerintah untuk merancang kebijakan yang lebih akurat dan adaptif terhadap kondisi lokal.

Dari sisi promosi dan pemasaran, kolaborasi dengan pelaku industri pariwisata digital seperti Traveloka, Tiket.com, dan platform konten seperti YouTube, Instagram, serta Tiktok juga menjadi langkah strategis. Desa wisata yang aktif membuat konten digital, menjalin kerja sama dengan influencer, dan mengelola media sosial secara konsisten, terbukti mampu menarik perhatian wisatawan muda dan wisatawan mancanegara.

Secara keseluruhan, kolaborasi lintas sektor ini menunjukkan bahwa pengembangan ekowisata yang berkelanjutan bukanlah kerja satu pihak saja. Butuh sinergi antar lembaga, kemauan politik, kesadaran komunitas, dan pendekatan berbasis data untuk menciptakan model pengelolaan pariwisata yang adil, lestari, dan berdaya tahan.

Gunung Merapi, dengan segala potensinya, telah menjadi laboratorium hidup bagi praktik terbaik ekowisata di Indonesia. Jika model ini terus diperkuat dan direplikasi di daerah lain, bukan tidak mungkin ekowisata dapat menjadi salah satu pilar utama pembangunan berkelanjutan di negeri ini.


Rizki

Rizki

Rizki Purnama adalah seorang travel content writer berbakat dengan pengalaman dalam menulis tentang destinasi wisata dan petualangan. Ia memiliki kecintaan yang mendalam terhadap dunia perjalanan dan selalu bersemangat untuk berbagi pengalaman dan cerita menarik melalui tulisannya.
https://xplorejogja.com