Jadah Tempe Mbah Carik tidak hanya menawarkan cita rasa kuliner tradisional yang lezat di Jogja, tetapi juga mengajarkan kita arti pentingnya menjaga warisan keluarga dan budaya. Di setiap potongan jadah yang lembut dan tempe bacem yang legit, tersimpan kisah panjang tentang pengabdian seorang abdi dalem, dukungan keluarga, serta penghargaan dari Keraton Yogyakarta.
Berkunjung ke warung ini tidak hanya memuaskan rasa lapar, tetapi juga memberi pengalaman budaya yang tak ternilai. Anda akan merasakan bagaimana tradisi Jawa tetap hidup melalui makanan, proses pembuatan, hingga kehangatan pelayanan keluarga Mbah Carik.
Daftar Isi
Sejarah Panjang Jadah Tempe Mbah Carik yang Menjadi Legenda Kuliner Yogyakarta
Ketika berbicara tentang kuliner tradisional khas Yogyakarta, nama Jadah Tempe Mbah Carik hampir selalu muncul sebagai salah satu destinasi wajib bagi para penikmat makanan khas Nusantara. Terletak di kawasan Kaliurang, Kabupaten Sleman, tempat makan ini bukan hanya sekadar menjajakan makanan, melainkan menyajikan sebuah sejarah panjang yang telah terjalin lintas generasi sejak dekade 1950-an.
Usaha kuliner ini bermula dari sosok Sastrodinomo, seorang carik (sekretaris desa) di Kaliurang pada masa itu. Nama “Mbah Carik” sendiri lahir dari gelar yang disematkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang mengakui pengabdian Sastrodinomo terhadap Keraton Yogyakarta. Dikutip dari buku Monggo Mampir: Mengudap Rasa Secara Jogja (2009), Sastrodinomo dulunya rutin menyerahkan persembahan berupa nasi jagung ke keluarga Keraton sebagai wujud loyalitas dan pengabdian seorang abdi dalem. Namun, pada tahun 1927, Sultan meminta sesuatu yang berbeda dari biasanya. Inilah awal mula terciptanya sajian unik berupa jadah yang terbuat dari ketan yang ditumbuk bersama kelapa, dipadukan dengan tempe bacem manis legit.
Resep sederhana itu ternyata memikat hati keluarga Keraton. Sejak saat itu, Sastrodinomo rutin mengirimkan jadah tempe ke istana sebagai persembahan. Seiring waktu, beliau beserta sang istri berinisiatif memperkenalkan sajian ini ke masyarakat lebih luas. Pada tahun 1950, mereka membuka warung kecil di kawasan Telaga Putri Kaliurang, menjadi cikal bakal dari Jadah Tempe Mbah Carik yang kita kenal saat ini.
Tahun 1965 menjadi salah satu momen bersejarah ketika Sri Sultan Hamengkubuwono IX berkunjung langsung ke Kaliurang dan mencicipi sajian jadah tempe di warung Sastrodinomo. Cita rasa otentik yang disajikan Mbah Sastrodinomo mampu memikat lidah raja hingga akhirnya, atas saran istri Sultan, Kanjeng Ratu Ayu Hastungkara, warung tersebut resmi diberi nama “Jadah Tempe Mbah Carik”. Penamaan ini tak hanya memperkuat identitas usaha, tetapi juga menjadi penghargaan atas jasa Sastrodinomo yang dahulu adalah seorang carik.
Bukan hanya Sultan HB IX yang terpikat, tetapi seiring waktu, warga sekitar dan wisatawan dari berbagai daerah pun turut menggemari kudapan khas ini. Hingga kini, usaha keluarga ini terus dilanjutkan secara turun-temurun, bahkan telah memasuki generasi keempat yang dikelola oleh cicit Sastrodinomo. Dengan sejarah yang begitu panjang dan berkesan, tidaklah berlebihan jika menyebut Jadah Tempe Mbah Carik sebagai salah satu legenda kuliner Yogyakarta yang wajib dilestarikan.
Proses Tradisional Pembuatan Jadah Tempe yang Tetap Terjaga
Salah satu hal yang membuat Jadah Tempe Mbah Carik begitu istimewa adalah cara pembuatannya yang hingga kini masih dipertahankan secara tradisional. Dalam era modern yang serba cepat, Mbah Carik dan keluarganya memilih untuk tetap memproses makanan dengan metode warisan leluhur. Semua dilakukan tanpa tergesa-gesa, mengedepankan rasa sabar dan cinta dalam setiap prosesnya.
Proses pembuatan jadah dimulai dari pemilihan bahan baku berkualitas. Beras ketan pilihan direndam terlebih dahulu untuk memastikan tekstur jadah nantinya bisa kenyal dan pulen. Setelah proses perendaman, ketan kemudian dikukus bersama parutan kelapa segar dan bumbu garam yang sudah diatur dengan komposisi tepat. Proses pengukusan ini memakan waktu kurang lebih satu setengah jam menggunakan dandang tradisional yang dipanaskan dengan kayu bakar, bukan kompor gas. Kayu bakar inilah yang memberikan aroma asap tipis yang khas pada jadah, menambah citarasa otentik yang tidak bisa didapat jika dimasak dengan kompor modern.
Setelah dikukus setengah matang, campuran ketan dan kelapa tersebut kemudian ditumbuk hingga halus menggunakan alu kayu besar. Aktivitas menumbuk ini memerlukan tenaga dan kesabaran ekstra agar jadah dapat memiliki tekstur lembut, padat, namun tetap kenyal saat digigit. Hasil tumbukan jadah kemudian dibentuk menyerupai lontong pipih.
Sementara itu, tempe bacem yang menjadi pendamping jadah juga diproses tidak kalah panjang. Tempe dipotong-potong lalu dimasak dengan bumbu bacem yang terdiri dari gula merah, bawang putih, bawang merah, lengkuas, daun salam, dan sedikit kecap manis. Proses perebusan dengan api kecil ini memakan waktu beberapa jam hingga bumbu benar-benar meresap ke dalam pori-pori tempe. Setelah bacem matang, tempe kemudian digoreng dengan minyak panas sehingga menghasilkan cita rasa manis gurih yang legit.
Dengan proses panjang serta penggunaan tungku kayu bakar yang konsisten dipertahankan, tak heran jika Jadah Tempe Mbah Carik memiliki aroma khas yang membangkitkan selera makan. Semua proses ini merupakan bentuk penghormatan kepada resep asli dari masa Sastrodinomo dulu, sekaligus menjadi cara keluarga besar Mbah Carik menjaga kualitas kuliner warisan agar tak lekang oleh zaman.
Menikmati Sensasi Jadah Tempe: Burger Jawa yang Sarat Filosofi
Pada awalnya, jadah dan tempe bacem disajikan dalam satu piring terpisah. Namun seiring perkembangan zaman dan kreativitas generasi penerus, kini Jadah Tempe Mbah Carik biasa dinikmati dengan cara yang unik, yaitu menyerupai burger tradisional Jawa. Dua potong jadah dijadikan sebagai “roti,” sementara di tengahnya diselipkan satu potong tempe bacem yang manis legit. Cara makan seperti ini bukan hanya praktis, tetapi juga memberikan sensasi tekstur yang luar biasa ketika jadah yang gurih dan kenyal berpadu dengan tempe yang empuk serta kaya rasa.
Sensasi rasa yang dihadirkan benar-benar memanjakan lidah. Jadah yang terasa sedikit asin, lembut, dan sedikit berminyak berpadu harmonis dengan tempe bacem yang manis gurih. Setiap gigitan menghadirkan kombinasi rasa dan aroma rempah yang menenangkan. Filosofi Jawa mengajarkan pentingnya keseimbangan hidup, demikian pula perpaduan jadah dan tempe bacem ini dianggap simbol keseimbangan antara rasa asin gurih (jadah) dengan manis (tempe bacem), menandakan harmoni dalam kehidupan sehari-hari.
Tak mengherankan jika banyak wisatawan yang datang ke Kaliurang mengincar kuliner satu ini. Menambahkan ke dalam Itinerary liburan di Jogja untuk menikmati Jadah Tempe Mbah Carik bukan hanya soal mengisi perut, tetapi juga merasakan kehangatan budaya Jawa yang terjalin dalam setiap proses pembuatannya. Tidak sedikit pengunjung yang menyebut jadah tempe ini sebagai comfort food yang mengingatkan mereka pada masakan nenek di kampung halaman.
Suasana Hangat dan Kesibukan Tradisional di Dapur Mbah Carik
Jika Anda berkunjung langsung ke warung Jadah Tempe Mbah Carik di Kaliurang, pengalaman yang akan Anda rasakan tak sekadar soal rasa makanan. Sejak pagi hari, suasana dapur tradisional di warung ini sudah mulai sibuk. Asap tipis mengepul dari tungku kayu bakar yang digunakan untuk mengukus jadah, menebarkan aroma khas yang menggoda.
Beberapa anggota keluarga tampak sibuk memarut kelapa, mencuci beras ketan, hingga menggoreng tempe dan tahu bacem yang telah direndam bumbu sejak malam sebelumnya. Aktivitas ini berlangsung terus menerus sepanjang hari demi memenuhi pesanan pelanggan yang datang silih berganti. Kerja sama dalam keluarga ini memperlihatkan nilai gotong royong yang masih kental dipertahankan.
Dalam kunjungan kami, kami juga berkesempatan bertemu dengan Mbah Sudimah, generasi kedua dari Mbah Carik. Beliau dengan ramah menceritakan asal-usul usaha keluarga ini, tentang bagaimana sang ayah (Sastrodinomo) dulu memulai usaha kecil-kecilan yang akhirnya berkembang menjadi salah satu ikon kuliner Yogyakarta. Mendengar langsung kisah dari Mbah Sudimah memberikan sentuhan emosional yang membuat setiap suapan jadah tempe terasa semakin bermakna.
Dapur yang tetap mempertahankan cara tradisional ini sekaligus menjadi bukti kesungguhan keluarga Mbah Carik dalam menjaga kualitas. Penggunaan kayu bakar memang memerlukan waktu lebih lama dibandingkan kompor gas, tetapi mereka percaya, cara inilah yang membuat rasa jadah tempe tetap otentik seperti dulu.
Harga Paket dan Informasi Lengkap untuk Berkunjung ke Jadah Tempe Mbah Carik Di 2025
Menikmati Jadah Tempe Mbah Carik tidak memerlukan biaya yang mahal. Warung ini menyediakan berbagai paket yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan, mulai dari paket kecil hingga paket besar untuk disantap bersama keluarga atau dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
Berikut adalah daftar harga paket jadah tempe Mbah Carik yang bisa Anda pilih:
- Paket 1: 10 jadah, 10 tempe, 10 tahu – Rp47.500
- Paket 2: 10 jadah, 10 tempe – Rp30.000
- Paket 3: 10 jadah, 5 tempe, 5 tahu – Rp32.000
- Paket 4: 10 jadah, 5 tempe – Rp22.500
- Paket 5: 5 jadah, 5 tempe – Rp15.000
- Paket 6: 10 jadah, 5 tahu – Rp23.500
Dengan harga yang sangat terjangkau ini, tidak heran jika warung Jadah Tempe Mbah Carik tak pernah sepi pembeli. Banyak pelanggan bahkan membeli beberapa paket sekaligus untuk dibagikan kepada keluarga di rumah.
Untuk Anda yang ingin datang langsung, lokasi warung ini berada di:
- Alamat: Jl. Astomulyo No.50, Kaliurang, Hargobinangun, Kec. Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55582
- Kontak: 081328052182
- Jam buka: Senin – Sabtu pukul 08.00 – 16.00 WIB
Lokasinya cukup mudah ditemukan karena berada di jalur wisata Kaliurang yang ramai dilewati wisatawan. Anda dapat menikmati kuliner langsung di tempat atau membawanya pulang untuk dinikmati bersama keluarga.
Jadi, jika Anda merencanakan liburan ke Yogyakarta, jangan lewatkan kesempatan untuk singgah di Jadah Tempe Mbah Carik. Rasakan sendiri perpaduan rasa jadah dan tempe bacem yang sarat makna, nikmati suasana dapur tradisional yang penuh keakraban, dan bawa pulang kenangan manis dari warisan kuliner legendaris Jogja ini. Selamat menikmati!