Daftar Isi
Ungkrung: Kuliner Musiman yang Unik
Ungkrung atau ulat jati merupakan salah satu kuliner musiman yang cukup unik dan menarik perhatian para wisatawan. Di Gunungkidul, kuliner ini bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga menjadi lambang kearifan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya. Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih detail tentang asal-usul, cara pembuatan, dan nilai gizi dari ungkrung.
Asal-Usul Ungkrung
Ungkrung atau ulat jati berasal dari larva ngengat Hyblaea purea yang muncul pada awal musim penghujan. Larva ini hanya dapat ditemukan saat daun-daun jati mulai tumbuh kembali, dan musim ulat jati berlangsung selama beberapa minggu sebelum bermetamorfosis menjadi ngengat. Masyarakat Gunungkidul biasanya memanfaatkan saat musim ulat jati untuk mengumpulkan larva dan pupa ngengat ini.
Cara Pembuatan Ungkrung
Setelah mengumpulkan larva dan pupa ngengat, masyarakat Gunungkidul membersihkan bulu-bulu di tubuh ulat jati dan mengukusnya untuk menghilangkan racun di kulitnya. Setelah matang, ulat jati dapat disimpan atau langsung digoreng dengan berbagai bumbu seperti bacem, balado, atau bumbu lainnya. Proses pembuatan ungkrung membutuhkan ketelatenan dan kehati-hatian agar hasilnya dapat dinikmati dengan baik.
Nilai Gizi Ungkrung
Meskipun terlihat agak nggilani, ulat jati memiliki nilai gizi yang tinggi. Menurut data dari FAO dan Departemen Entomologi di Iowa State University, setiap 100 gram ulat kering mengandung protein hingga 68 gram, lebih tinggi dari kandungan protein daging sapi. Selain itu, kandungan lemak yang dimiliki ulat jati juga lebih rendah daripada sapi, sehingga cocok sebagai alternatif sumber protein yang sehat.
Keunikan dan Kelezatan Ungkrung
Keunikan dari ungkrung tidak hanya terletak pada bentuknya yang “unik”, tetapi juga pada rasa dan teksturnya yang lezat. Meskipun mungkin terdengar ekstrim bagi beberapa orang, rasanya yang renyah dan gurih membuat banyak orang ketagihan untuk mencicipinya. Selain itu, kearifan lokal masyarakat Gunungkidul dalam memanfaatkan ulat jati sebagai sumber protein alternatif juga menjadi nilai tambah dari kuliner ini.
Menurut Eddy Guano, seorang warga Gunungkidul yang gemar mengkonsumsi ungkrung, kebiasaan ini bermula dari masa gaber pada tahun 1960-an. Saat itu, masyarakat harus beradaptasi dengan alternatif makanan yang tersedia untuk mengatasi krisis ekonomi dan musim paceklik. Dengan rasanya yang lezat dan nilai gizinya yang tinggi, ungkrung menjadi pilihan yang tepat untuk mengatasi kekurangan asupan protein.
Kesimpulan
Ungkrung atau ulat jati merupakan salah satu kuliner unik yang menjadi warisan musim paceklik di Gunungkidul. Dengan keunikan bentuk, kelezatan rasa, dan nilai gizi yang tinggi, ungkrung menjadi pilihan yang menarik bagi para pecinta kuliner. Meskipun terlihat agak ekstrim, ungkrung memiliki potensi untuk menjadi sumber protein utama di masa depan yang ramah lingkungan. Dengan demikian, tidak ada salahnya untuk mencoba dan menikmati kuliner musiman yang satu ini!