Kompleks Makam Pesarean Banyusumurup adalah saksi bisu dari kekuasaan yang absolut, perebutan kekuasaan, serta dinamika intrik politik istana yang sering kali berakhir dengan kekerasan dan penghapusan sejarah individu. Tempat ini menjadi pemakaman bagi mereka yang dituduh berkhianat, memberontak, atau mencemari kehormatan istana, meskipun banyak di antaranya adalah kerabat dekat raja sendiri.
Kini, dalam suasana sunyi dan damai, kompleks ini menyimpan banyak pelajaran sejarah yang sepatutnya dipelajari dan direnungkan. Banyusumurup bukan sekadar tempat pemakaman, melainkan juga simbol dari bagaimana kekuasaan bisa begitu mematikan ketika dijalankan tanpa batas. Ia menjadi monumen bagi mereka yang tersingkir dari sejarah, sekaligus pengingat bahwa keadilan dan kebenaran sering kali menjadi korban dalam politik kekuasaan. Seperti apa ceritanya, xplorejogja.com akan mengulasnya di sini.
Daftar Isi
Sejarah Singkat dan Posisi Strategis Kompleks Makam Banyusumurup
Kompleks Makam Banyusumurup terletak di sebuah lembah sunyi di kawasan perbukitan Imogiri, tepatnya di Dusun Banyusumurup, Kelurahan Girirejo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Letaknya yang tersembunyi di antara tiga bukit menjadikan tempat ini begitu senyap dan jauh dari keramaian, seolah menyatu dengan kesunyian dan cerita kelam yang menyelimutinya.
Berbeda dengan Makam Raja-raja Imogiri yang terletak megah dan sakral di kawasan Pajimatan, kompleks pemakaman Banyusumurup justru menjadi lokasi terakhir bagi mereka yang dianggap sebagai “musuh negara” oleh penguasa Mataram, khususnya pada masa pemerintahan Susuhunan Amangkurat I. Inilah tempat bagi mereka yang dituduh berkhianat, terlibat intrik politik, atau jatuh dalam konflik internal istana yang berdarah.
Kompleks ini menjadi simbol bagi sejarah yang penuh luka dan kekuasaan yang absolut. Penunjukan Banyusumurup sebagai lokasi pemakaman bukan tanpa makna. Letaknya yang terpencil, aksesnya yang terbatas, dan nuansa sekelilingnya yang sunyi mencerminkan nasib mereka yang dikucilkan secara sosial dan politik oleh negara. Berbeda dengan makam-makam para raja yang dikelilingi oleh kehormatan dan penghormatan abadi, Banyusumurup justru menjadi “penjara terakhir” bagi para tokoh yang dianggap menyimpang dari garis kekuasaan kerajaan.
Kini, kompleks ini telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia No. PM.89/PW.007/MKP/2011. Status ini tidak hanya mengafirmasi nilai sejarahnya, tetapi juga membuka peluang pelestarian dan edukasi kepada publik tentang sisi kelam dalam sejarah kerajaan Mataram Islam.
Baca Juga: Desa Banyusumurup, Destinasi Wisata Pengrajin Keris Di Jogja
Pangeran Pekik dan Tragedi Berdarah di Balik Kekuasaan
Tokoh utama yang menjadikan Kompleks Makam Banyusumurup begitu dikenal adalah Pangeran Pekik, seorang bangsawan berdarah biru yang memiliki hubungan erat dengan keluarga istana Mataram. Ia adalah putra dari Pangeran Surabaya dan sekaligus mertua dari Susuhunan Amangkurat I. Namun hubungan kekeluargaan ini tidak mampu menyelamatkannya dari kecurigaan dan eksekusi.
Pada 21 Februari 1659, atas perintah langsung Amangkurat I, Pangeran Pekik bersama sejumlah pengikut dan keluarganya dibantai. Tuduhan yang diarahkan kepadanya beragam. Ada yang menyebut ia berencana memberontak dan menggulingkan kekuasaan. Ada pula versi yang menyebutkan bahwa konflik berawal dari urusan asmara dan perebutan pengaruh. Diceritakan bahwa Pangeran Pekik membawa Rara Oyi—gadis yang ingin diperistri Amangkurat I—untuk diberikan kepada cucunya, Adipati Anom (Amangkurat II). Peristiwa ini dipersepsikan sebagai bentuk penghinaan dan ancaman terhadap kekuasaan sang raja.
Di sisi lain, muncul pula dugaan bahwa Pangeran Pekik berusaha menjalin kerja sama dengan Belanda, yang pada masa itu mulai masuk dalam percaturan politik di Jawa. Semua kecurigaan ini memuncak dalam sebuah keputusan politik yang brutal: pembunuhan massal terhadap seorang bangsawan tinggi beserta keluarganya.
Jasad-jasad mereka kemudian dimakamkan di Banyusumurup, sebuah tempat yang oleh masyarakat kala itu dianggap sebagai pasareyan mirunggan—permakaman khusus bagi mereka yang dianggap berdosa terhadap raja. Maka tidak heran jika makam ini juga dijuluki sebagai “tanah pengasingan terakhir,” tempat penghapusan nama dan kehormatan dari sejarah istana.
Struktur Kompleks dan Ciri Arsitektural Pemakaman
Kompleks makam Banyusumurup terdiri dari dua halaman utama yang masing-masing dikelilingi oleh tembok bata dengan denah berbentuk empat persegi panjang. Halaman pertama dikenal sebagai bale panyerenan, yaitu tempat untuk meletakkan jenazah sebelum dimakamkan secara resmi. Kini, halaman ini lebih banyak digunakan sebagai tempat tunggu para peziarah. Di sisi utara halaman ini terdapat sebuah bangsal sederhana yang masih digunakan hingga saat ini.
Masuk ke halaman kedua, pengunjung akan disambut oleh keheningan yang mendalam. Halaman ini menjadi tempat utama pemakaman, di mana terdapat sekitar 52 makam, termasuk makam Pangeran Pekik, Pangeran Lamongan, Rara Oyi, dan Putra Timur—anak Pangeran Pekik yang dibunuh ketika masih kecil. Selain itu, terdapat pula 31 makam lain yang diyakini sebagai makam para pengikut dan kerabat dari sang pangeran.
Ciri khas arsitektural dari makam-makam di Banyusumurup terletak pada penggunaan batu sebagai bahan utama. Sebagian besar nisan terbuat dari batu andesit polos, namun makam Pangeran Pekik dan Pangeran Lamongan dibuat dari batu kapur dengan bentuk jirat dan nisan yang merupakan satu kesatuan utuh. Beberapa nisan bahkan dihiasi motif khas seperti tumpal, bintang, bulan sabit, dan awan, serta terdapat dua nisan yang memiliki tulisan dalam aksara Jawa tengahan.
Tidak seperti makam-makam para raja di Imogiri yang megah dan sarat simbol kekuasaan, pemakaman di Banyusumurup tampak sederhana, sunyi, dan penuh perenungan. Inilah simbol perbedaan antara kehormatan abadi dan penghapusan dari sejarah resmi.
Baca Juga: Makam Raja-Raja Imogiri, Pusara Para Leluhur Yogyakarta
Tradisi Ziarah dan Peran Abdi Dalem Keraton
Meskipun menjadi makam bagi mereka yang disebut “pendosa” terhadap kerajaan, Banyusumurup tetap dijaga dan dihormati hingga hari ini. Keraton Yogyakarta dan Surakarta mengutus abdi dalem secara bergantian untuk menjaga dan merawat kompleks ini. Terdapat total 10 abdi dalem yang bertugas, enam dari Yogyakarta dan empat dari Surakarta. Mereka menjalankan tugas dalam sistem rotasi empat hari sekali, memastikan bahwa kompleks tetap bersih, terawat, dan siap menyambut para peziarah.
Kunci kompleks makam ini disimpan di rumah seorang abdi dalem bernama Mugi Wihargo, yang rumahnya terletak di sebelah selatan Masjid Dusun Banyusumurup. Ia menjadi tokoh yang disegani oleh masyarakat setempat dan sering menjadi narasumber bagi wisatawan maupun peziarah yang ingin mengetahui lebih dalam sejarah Banyusumurup.
Pada hari-hari tertentu, seperti Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, kompleks makam ini ramai dikunjungi peziarah. Mereka datang untuk menjalankan tradisi “caos dhahar” atau mengirim doa kepada para leluhur dan tokoh yang dimakamkan. Tradisi ini tetap lestari dan menjadi salah satu bentuk kearifan lokal yang mencerminkan sinkretisme budaya Jawa antara nilai keagamaan dan adat istiadat.
Legenda Banyusumurup dan Situs Masjid Kagungan Dalem
Nama Banyusumurup sendiri memiliki kisah yang tidak kalah menarik. Dalam tradisi lisan masyarakat, diceritakan bahwa Sultan Agung bersama pengikutnya sedang mencari lokasi untuk makam raja-raja Mataram. Di tengah perjalanan, mereka berhenti di perbukitan karena kehausan dan hendak menunaikan salat. Namun saat itu tidak ditemukan sumber air. Lalu Sultan Agung menancapkan tongkatnya ke tanah dan dari situ memancar air yang deras. Lokasi tersebut kemudian dinamakan “Banyusumurup,” yang berarti air yang muncul atau menyala.
Di sekitar lokasi tersebut kemudian didirikan Masjid Kagungan Dalem, yang kini menjadi situs penting di Banyusumurup selain kompleks makam. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi simbol spiritual dan sejarah masyarakat setempat. Keberadaan masjid menegaskan dimensi religius dan sakral dari wilayah ini, meskipun secara historis ia menjadi tempat penguburan orang-orang yang terusir dari sejarah resmi.
Ironisnya, nama Banyusumurup yang berarti “air yang bercahaya” justru menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi mereka yang mengalami “kegelapan sejarah”—tokoh-tokoh yang dibungkam oleh penguasa. Maka dari itu, tempat ini bukan sekadar situs pemakaman, tetapi juga narasi tentang ketidakadilan, kebencian kekuasaan, serta sisi kelam kekuasaan kerajaan Jawa.