Taman Sari Yogyakarta, atau dalam sebutan aslinya dalam aksara Jawa ꦠꦩꦤ꧀ꦱꦫꦶ ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ (Taman Sari Ngayogyakarta), merupakan sebuah kompleks bersejarah yang dahulunya adalah taman istana bagi para Sultan Yogyakarta. Situs yang berdiri sejak abad ke-18 ini menyimpan jejak estetika arsitektur Jawa klasik yang berpadu dengan sentuhan artistik Eropa dan Asia. Dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana I sekitar tahun 1758 hingga 1765, taman istana ini awalnya berfungsi sebagai tempat peristirahatan, rekreasi, meditasi, hingga perlindungan darurat keluarga kerajaan.
Pada masa kejayaannya, Taman Sari dikenal memiliki luas wilayah yang luar biasa, yakni sekitar 12,666 hektare. Area tersebut memuat setidaknya 58 bangunan penting yang tersebar mulai dari barat daya kompleks Kedhaton hingga tenggara kompleks Magangan. Sayangnya, karena berbagai peristiwa sejarah dan bencana alam, kini hanya sebagian kecil dari keseluruhan taman yang dapat dinikmati oleh publik. Sisa-sisa kompleks Taman Sari yang masih berdiri umumnya berada di area barat daya Keraton Yogyakarta.
Adapun bangunan yang masih bisa dijumpai hingga kini meliputi gedung-gedung megah, kolam pemandian cantik, kanal air, jembatan, dan terowongan bawah tanah yang konon juga terhubung dengan pusat Keraton. Salah satu daya tariknya adalah keunikan rancangan lorong-lorong bawah air dan danau buatan dengan pulau-pulau kecil, yang membuat Taman Sari dijuluki sebagai “Istana Air”.
Kekayaan budaya yang terwujud dalam struktur Taman Sari tidak hanya menjadi warisan Kesultanan Yogyakarta semata, tetapi juga simbol pertemuan antara seni arsitektur lokal dengan pengaruh global. Hal ini tercermin dari pola bangunan yang dipercantik dengan ornamen Jawa klasik sekaligus motif-motif yang diyakini mengandung unsur Eropa, Timur Tengah, bahkan sedikit aroma Tiongkok yang muncul pada beberapa detail.
Kini, Taman Sari menjadi salah satu objek wisata andalan di Yogyakarta yang ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara. Selain memikat karena nilai sejarah dan keindahan arsitekturnya, kawasan ini juga memegang peranan penting dalam membangkitkan sektor ekonomi kreatif masyarakat sekitar melalui aktivitas wisata budaya dan kampung wisata yang berkembang pesat di lingkungannya.
Daftar Isi
Jam Buka dan Harga Tiket Masuk Taman Sari Di 2025
Harga tiket masuk Taman Sari Yogyakarta pada tahun 2025 adalah sebagai berikut:
Kategori | Harga Tiket (Rp) |
---|---|
Wisatawan domestik dewasa (13 tahun ke atas) | Rp 15.000 |
Wisatawan domestik anak-anak (2–12 tahun) | Rp 10.000 |
Wisatawan mancanegara dewasa | Rp 25.000 |
Wisatawan mancanegara anak-anak | Rp 20.000 |
Selain tiket masuk, ada juga biaya tambahan untuk sesi foto seperti prewedding dan foto produk, serta izin membawa kamera profesional yang berbeda antara wisatawan domestik dan mancanegara.
Jam buka Taman Sari:
Setiap hari pukul 09.00 – 15.00 WIB.
Taman Sari adalah salah satu tempat wisata yang ada di dekat Malioboro, yang direkomendasikan untuk dikunjungi.
Sejarah Berdirinya Taman Sari: Dari Pesanggrahan Garjitawati hingga Kebun Raja
Dirangkum dari berbagai sumber oleh Explore Jogja, awal mula keberadaan kawasan Taman Sari dapat ditelusuri lebih jauh sebelum masa pemerintahan Hamengkubuwana I. Dalam naskah kuno Babad Giyanti, disebutkan bahwa di tempat ini dahulu telah berdiri sebuah pesanggrahan bernama Garjitawati pada era Sunan Amangkurat. Pesanggrahan tersebut mulanya difungsikan sebagai tempat singgah bagi raja-raja Mataram yang wafat sebelum dimakamkan di Astana Pajimatan Imogiri. Pada masa pemerintahan Pakubuwana II, nama Garjitawati pun diubah menjadi Ayogya.
Pasca-Perjanjian Giyanti tahun 1755 yang membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi yang naik takhta sebagai Sultan Hamengkubuwana I mulai membangun pusat pemerintahannya. Ia memilih sebuah kawasan hutan beringin bernama Pacethokan, yang letaknya di antara Kali Winongo dan Kali Code, untuk mendirikan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada 7 Oktober 1756, pembangunan keraton pun rampung.
Tak lama kemudian, Sultan Hamengkubuwana I menginstruksikan pembangunan taman kerajaan (taman sari) di sekitar keratonnya. Taman ini dimaksudkan menjadi pelengkap bagi aktivitas rekreasi, spiritual, sekaligus benteng pertahanan. Menariknya, dalam cerita tutur masyarakat, ada kisah tentang seorang asing yang datang ke Yogyakarta pada masa Hamengkubuwana II. Orang ini disebut-sebut berasal dari Portugis, dikenal dengan nama Demang Tegis, yang konon membantu merancang Taman Sari. Namun, versi ini ditentang banyak peneliti.
Pakar Belanda seperti P.J. Veth dan sejarawan Isaac Groneman menyatakan Taman Sari sepenuhnya merupakan karya arsitek Jawa. Disebutkan dalam naskah resmi Keraton Yogyakarta bahwa proyek ini dipimpin oleh Tumenggung Mangundipura dengan pendampingan Lurah Dawelingi, seorang Bugis. Mangundipura bahkan sempat dikirim ke Batavia untuk mempelajari gaya bangunan Eropa sebelum menerapkan inspirasinya di Taman Sari.
Naskah Keraton menegaskan pembangunan dimulai pada tahun 1758 (1684 Jawa), ditandai dengan simbol sengkalan “catur naga rasa tunggal” yang terpahat. Bangunan utama dan gapura kemudian rampung pada 7 Syawal 1765 (1691 Jawa) dengan sengkalan memet berbentuk burung mengisap madu yang berarti “lajering sekar sinesep peksi”. Proyek ini diawasi langsung oleh Bupati Madiun Raden Rangga Prawirasentika, sebelum akhirnya dilanjutkan Pangeran Natakusuma (kelak menjadi Paku Alam I).
Masa Kejayaan dan Kemunduran Taman Sari sebagai Taman Istana Kerajaan
Dalam masa keemasannya, Taman Sari berfungsi sangat strategis dan multifungsi. Di sinilah Sultan dan keluarga kerajaan menikmati waktu santai, menjalankan ritual meditasi, hingga menjamu tamu-tamu penting. Keberadaan kolam pemandian Umbul Binangun terkenal sebagai tempat peraduan dan hiburan para permaisuri serta putri-putri keraton. Sementara di bagian lain, terdapat bangunan yang diyakini sebagai ruang khusus bagi Sultan untuk menenangkan diri dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Namun, kejayaan tersebut tidak berlangsung lama. Tercatat, penggunaan efektif Taman Sari sebagai taman kerajaan hanya bertahan dari 1765 hingga sekitar 1812. Pada tahun itu terjadi Geger Sepehi, saat pasukan Inggris di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Raffles menyerbu Keraton Yogyakarta. Taman Sari ikut menjadi korban kerusakan dalam peristiwa ini.
Kesialan belum berhenti. Pada 10 Juni 1867, Yogyakarta diguncang gempa besar yang menghancurkan sebagian besar struktur Taman Sari. Banyak bangunan megahnya roboh, termasuk lorong-lorong bawah tanah yang menghubungkan beberapa titik penting. Sejak saat itu, masyarakat yang terdampak bencana mulai bermukim di lahan-lahan kosong sekitar Taman Sari dengan sistem magersari, yakni menempati tanah milik Kesultanan dengan izin.
Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VIII sempat muncul wacana untuk menghidupkan kembali fungsi asli Taman Sari. Namun baru pada 1 April 1976, di era Hamengkubuwana IX, Taman Sari resmi tidak lagi digunakan keluarga kesultanan dan ditetapkan sebagai cagar budaya. Kawasan ini pun mulai dialihkan menjadi destinasi wisata sejarah dengan tetap mengakomodasi warga sekitar melalui izin tinggal di tanah Kesultanan.
Transformasi Menjadi Destinasi Wisata Budaya dan Cagar Budaya Nasional
Pada tahun 1974, Keraton melalui Tepas Keprajuritan mulai mengelola Taman Sari sebagai objek wisata sejarah. Restorasi dan revitalisasi sebagian area dilakukan pada 1977, meski harus diakui hanya sedikit struktur yang berhasil direstorasi karena mayoritas telah hancur sejak gempa 1867. Di tahun 1990, kawasan sekitar pun dicanangkan sebagai Kampung Wisata Taman, mendukung potensi pariwisata berbasis masyarakat.
Proses panjang revitalisasi terus berlanjut. Pada 1997, upaya pemugaran besar kembali dilaksanakan sebelum Taman Sari ditetapkan secara resmi sebagai cagar budaya oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala pada 1998. Program ini berlanjut dengan perawatan intensif terhadap ikon-ikon penting seperti Sumur Gumuling, Pasareyan Ledoksari, serta Pulau Cemethi.
Menariknya, pada 2003 Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) bekerja sama dengan Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM, yayasan pelestari budaya Portugal Calouste Gulbenkian Foundation, serta pemerintah Portugal, memulai pemugaran besar-besaran. Proyek senilai lebih dari Rp4 miliar ini memulihkan banyak bagian bangunan, meski beberapa kembali terdampak gempa Yogyakarta 2006. Namun, kerja sama dengan UNESCO pascagempa berhasil memastikan kelangsungan konservasi struktur Taman Sari.
Kini, selain menjadi daya tarik wisata sejarah dan budaya, Taman Sari juga menjadi ruang kreatif bagi warga setempat. Banyak dijumpai workshop batik, kerajinan perak, hingga kuliner khas yang tumbuh subur di sekitar kompleks, menghidupkan perekonomian sekaligus mengokohkan identitas budaya Yogyakarta di mata wisatawan dunia.
Struktur dan Arsitektur Bangunan Taman Sari Yogyakarta
Taman Sari Yogyakarta merupakan salah satu mahakarya warisan budaya yang menampilkan kehebatan arsitektur tradisional Jawa pada masa Sultan Hamengkubuwana I. Pembangunan kompleks ini kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, Sultan Hamengkubuwana II. Secara keseluruhan, bangunan Taman Sari menggunakan teknik konstruksi yang berkembang pada abad ke-17 hingga ke-18, yang membuktikan bahwa pada masa itu, teknik bangunan di Jawa telah mencapai tahap kematangan yang mengesankan.
Secara teknis, konstruksi Taman Sari tidak menggunakan material beton bertulang besi sebagaimana lazimnya konstruksi modern. Sebaliknya, bangunan ini didirikan dengan metode tradisional bernama teknik bajralepa, yakni mencampurkan pasir dengan tumbukan bata yang diolah sedemikian rupa hingga merekat kuat, menyerupai fungsi semen masa kini. Teknik ini menghasilkan dinding yang sangat tebal, sekitar 5 sentimeter atau lebih, sehingga meskipun terkena dampak gempa bumi berkali-kali, banyak bagian bangunan yang tidak runtuh total dan bahkan masih berdiri kokoh.
Kawasan Taman Sari dahulu memiliki luas sekitar 12,666 hektare (31,30 ekar) dengan setidaknya 58 bangunan, di mana 15 di antaranya adalah bangunan utama seperti gedung-gedung peristirahatan, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, dan pulau buatan. Kompleks ini juga dikenal dengan sebutan “Watercastle” atau “Istana Air”, karena pada masa jayanya seluruh area ini dikelilingi air. Dari segi teknologi, ini memperlihatkan betapa majunya tata kelola air yang diterapkan di masa kerajaan Yogyakarta kala itu.
Sumber air untuk Taman Sari dan seluruh area istana Keraton, termasuk Benteng Baluwerti, dialirkan dari Kali Winongo yang dibendung di kawasan Pingit. Untuk menjaga kebersihannya, aliran air tersebut dinamakan “Kali Larangan”, dan penduduk yang tinggal di sekitarnya tidak diperkenankan mandi di sana. Seiring waktu, area yang dahulu merupakan kolam besar dan kanal air kini telah berubah menjadi permukiman padat dengan sekitar 2.500 rumah warga yang berdiri di atasnya, membawa cerita panjang bagaimana warisan budaya ini tetap berdampingan dengan kehidupan masyarakat masa kini.
Bagian Pertama: Segaran dan Pulo Kenanga, Simbol Keindahan Istana Air
Pada masa puncak kejayaannya, area pertama Taman Sari menampilkan sebuah danau buatan yang dinamai Segaran. Dalam bahasa Jawa, istilah ini berarti “laut buatan”, yang difungsikan sebagai tempat Sultan dan keluarga kerajaan bersampan menikmati suasana taman. Segaran dikelilingi oleh taman dan kebun yang menambah suasana asri, sekaligus menciptakan harmoni antara unsur air, tumbuhan, dan bangunan.
Kini, bekas Segaran tidak lagi berisi air dan telah berubah menjadi kawasan padat penduduk yang dikenal dengan Kampung Taman. Namun, sisa-sisa bangunan yang pernah berdiri megah di sekitarnya masih dapat dijumpai, meski sebagian besar dalam kondisi memprihatinkan akibat usia dan bencana alam.
Di tengah Segaran, terdapat sebuah pulau buatan bernama Pulo Kenanga, dinamai demikian karena dulunya pulau ini ditanami pohon kenanga (Cananga odorata) yang terkenal harum. Di atas pulau tersebut berdiri Gedhong Kenanga, sebuah gedung bertingkat dua yang menjadi pusat perhatian. Bangunan ini memiliki bagian tengah serta dua sayap di sisi timur dan barat. Lantai atasnya yang dahulu terbuat dari kayu dapat diakses melalui dua tangga di sisi utara. Dari atas Gedhong Kenanga, Sultan bisa memandang seluruh keindahan kompleks Taman Sari, Pasar Ngasem, Keraton, hingga bentangan Kota Yogyakarta.
Untuk menuju ke Pulo Kenanga, terdapat terowongan di sisi selatan maupun barat yang memungkinkan akses jalan kaki, atau melalui jalur air menggunakan sampan. Sultan memiliki dermaga pribadi bernama Pongangan Peksi Beri, sementara abdi dalem menggunakan pongangan yang terpisah. Dua pintu gerbang di utara dan selatan menjadi jalur utama memasuki pulau ini, yang sekaligus menandai betapa teraturnya rancangan sirkulasi pengunjung pada masa itu.
Pulo Panembung dan Sumur Gumuling: Pesona Misteri dan Religius
Melangkah lebih ke selatan dari Pulo Kenanga, terdapat Pulo Panembung, sebuah bangunan bertingkat dua yang berdiri di atas denah persegi. Tangga batu bata plesteran di sisi utara menghubungkan lantai satu dan dua, yang pada masanya lantai atas ini diyakini terbuat dari kayu. Hingga kini fungsi pasti Pulo Panembung masih menjadi misteri, meskipun warga lokal yang secara turun-temurun menetap di kawasan ini meyakini bahwa bangunan ini dulunya digunakan Sultan untuk bertapa atau meditasi, mencari ketenangan batin di balik hiruk-pikuk kehidupan kerajaan.
Bangunan menakjubkan lainnya adalah Sumur Gumuling, yang berada di sebelah barat Pulo Kenanga. Bentuknya unik, menyerupai cincin besar dengan ruang terbuka di tengah, sehingga dari atas tampak seperti amfiteater. Sumur Gumuling hanya dapat dimasuki melalui terowongan bawah tanah yang dulunya terendam air, menambah kesan misterius. Bangunan dua lantai ini aslinya berfungsi sebagai masjid bawah tanah. Di dindingnya ditemukan mihrab, yakni ceruk untuk imam memimpin salat, baik di lantai satu maupun dua.
Empat tangga yang naik dari empat arah bertemu pada satu titik di tengah bangunan. Dari titik inilah muncul tangga kelima yang menghubungkan ke lantai dua. Tepat di bawah pertemuan tangga ini terdapat sebuah kolam kecil yang digunakan untuk berwudu. Desain ini bukan hanya unik dari sisi arsitektur, tetapi juga menampilkan kejeniusan para perancang masa itu dalam memadukan kebutuhan ibadah, estetika, sekaligus sirkulasi ruang.
Bagian Kedua: Gedhong Pecaosan, Gapura Hageng, dan Umbul Pasiraman yang Anggun
Bagian kedua Taman Sari secara tradisional dimulai dari area Gedhong Pecaosan, yang pada masa lalu berada di halaman luas bernama Pagelaran. Sayangnya, halaman ini telah hilang digantikan oleh padatnya rumah penduduk. Gedhong Pecaosan sendiri masih relatif terjaga meskipun kini melebur dalam kompleks permukiman warga. Dulu, bangunan ini menjadi pos jaga para prajurit bregada Keraton, sekaligus tempat penyimpanan meriam.
Memasuki kawasan dalam, terdapat gerbang utama bernama Gapura Hageng. Gerbang segi empat ini dihiasi ornamen sulur-suluran, bunga, serta burung yang tengah mengisap bunga—melambangkan sengkalan memet atau penanda waktu selesainya pembangunan Taman Sari pada tahun 1765 M. Anak tangga setengah lingkaran membawa pengunjung naik ke atas bangunan gerbang, memperlihatkan bagaimana arsitektur masa itu memadukan fungsionalitas dengan keindahan seni ukir.
Tidak jauh dari Gapura Hageng berdiri Umbul Pasiraman, juga dikenal sebagai Pasiraman Umbul Binangun, sebuah kompleks pemandian yang terkenal digunakan Sultan dan keluarganya. Kompleks ini memiliki tiga kolam utama yang dinamai sesuai peruntukannya: Umbul Kawitan untuk putra-putri Sultan, Umbul Pamuncar bagi para selir dan permaisuri, serta Umbul Panguras khusus untuk Sultan. Masing-masing kolam dilengkapi pancuran air dan dinding pembatas untuk memberikan privasi, sementara sebuah menara bertingkat di sisi kolam menjadi tempat Sultan memerhatikan para selirnya.
Gedhong Sekawan, Gapura Panggung, dan Bagian Tersembunyi di Selatan
Ke arah timur Umbul Pasiraman, berdiri deretan empat bangunan serupa yang dinamai Gedhong Sekawan. Struktur ini berbentuk persegi panjang dengan empat ambang pintu berbentuk setengah lingkaran pada tiap sisi, atapnya bergaya limasan yang khas Jawa. Dulunya, Gedhong Sekawan digunakan keluarga Sultan sebagai ruang istirahat serta tempat menikmati pertunjukan tarian atau alunan karawitan.
Lalu terdapat Gapura Panggung, sebuah gerbang dengan desain seperti panggung terbuka di atasnya, yang dilengkapi tangga kanan-kiri untuk naik. Di balik Gapura Panggung berdiri dua pasang bangunan, yakni Gedhong Pangunjukan (bangunan kecil tempat menyimpan air minum dalam tempayan) dan Gedhong Temanten (bangunan lebih besar yang kini difungsikan sebagai loket masuk).
Melangkah ke selatan Gapura Hageng, pengunjung akan menjumpai Gedhong Carik, yang dulu menjadi kantor sekretariat Kesultanan. Sedikit ke selatan lagi terdapat reruntuhan Gedhong Garjitawati, di sekitar sini juga ditemukan jejak Pasiraman Garjitawati dan Nagaluntak yang kini lenyap. Tak jauh, berdiri Pasareyan Ledoksari, tempat tinggal pribadi Sultan saat berada di Taman Sari, dengan denah berbentuk U, dilengkapi tempat tidur, toilet, serta kelir penangkal roh jahat.
Bagian Keempat: Misteri Pulo Gedhong dan Kanal Rahasia
Bagian terakhir Taman Sari ini hanya dapat dilacak melalui peta kuno Keraton yang dibuat para pelancong Eropa abad ke-18. Disebutkan adanya Pulo Gedhong atau Pulo Arga, yang dilengkapi menara tinggi bergaya Tionghoa. Catatan Carl Friedrich Reimer pada 1791 menggambarkan adanya sumur mata air di kaki menara ini yang dialirkan melalui saluran rahasia, memungkinkan Sultan menikmati suasana sejuk dan terpencil di tengah danau Segaran. Jembatan angkat kala itu memungkinkan sampan keluar masuk dengan leluasa menghubungkan Pulo Gedhong ke Taman Sari maupun Keraton.
Aktivitas Menarik yang Bisa Dilakukan di Taman Sari Yogyakarta
Dalam kunjungan ke Taman Sari, Anda akan menemukan beberapa titik utama yang paling diminati wisatawan, mulai dari kolam pemandian Umbul Binangun, masjid bawah tanah Sumur Gumuling, Gedhong Sekawan, hingga Gapura Panggung yang memiliki ornamen khas. Selain itu, interaksi dengan penduduk lokal di Kampung Taman, yang telah menjadi kampung wisata, turut memperkaya pengalaman Anda. Setiap langkah kaki di kawasan ini membawa Anda lebih dekat dengan sejarah panjang Keraton Yogyakarta, sembari memberikan ruang untuk menikmati momen rekreasi bersama keluarga atau kerabat.
1. Menjelajahi Keindahan Umbul Binangun yang Bersejarah
Salah satu aktivitas utama yang sayang dilewatkan ketika berada di Taman Sari adalah menjelajahi Umbul Binangun, atau yang juga dikenal sebagai Umbul Pasiraman. Tempat ini merupakan kompleks pemandian yang dahulu digunakan secara eksklusif oleh Sultan, para putri, selir, dan permaisuri kerajaan. Umbul Binangun menggambarkan bagaimana Sultan pada masa itu tidak hanya memikirkan urusan politik dan pemerintahan, tetapi juga memperhatikan relaksasi dan seni kehidupan yang halus.
Kompleks pemandian ini terdiri atas tiga kolam dengan air jernih yang ditata sangat cantik. Masing-masing kolam memiliki fungsi yang berbeda. Kolam pertama, Umbul Kawitan, diperuntukkan bagi putra-putri Sultan. Kolam kedua, Umbul Pamuncar, digunakan oleh para selir dan permaisuri. Sementara kolam ketiga, Umbul Panguras, dikhususkan bagi Sultan sendiri. Dengan demikian, setiap kolam memiliki nilai eksklusivitas yang menggambarkan hirarki sosial keluarga keraton pada masa lalu.
Di sisi utara Umbul Binangun, terdapat dua bangunan yang dulunya digunakan sebagai tempat para putri berganti pakaian sebelum atau sesudah mandi. Arsitektur bangunan ini sederhana tetapi tetap menonjolkan kesan elegan, sesuai dengan fungsi privatnya. Tak hanya itu, di antara kolam Umbul Pamuncar dan Umbul Panguras terdapat area bangunan dengan banyak kamar yang kemungkinan besar digunakan sebagai tempat menunggu atau beristirahat. Dari area ini, pengunjung juga dapat melihat menara pengamatan yang berdiri kokoh. Dahulu, menara ini memungkinkan Sultan menyaksikan aktivitas para putri dan selirnya dari ketinggian, menambah kesan romantik sekaligus simbolik tentang kuasa seorang Raja.
Kini, Umbul Binangun menjadi salah satu spot favorit untuk berfoto. Pantulan cahaya matahari di permukaan air kolam, ditambah latar belakang bangunan kuno dengan ukiran halus, menciptakan hasil gambar yang estetik. Oleh sebab itu, banyak wisatawan sengaja datang ke Taman Sari hanya untuk mengabadikan momen di tempat ini. Namun, yang terpenting, setiap langkah di sekitar kolam pemandian ini membawa kita pada imajinasi tentang bagaimana kehidupan keluarga kerajaan pada abad ke-18 yang sarat tata krama dan keindahan.
2. Menikmati Keindahan Sumur Gumuling dan Pesona Gedhong Sekawan
Selepas dari Umbul Binangun, perjalanan Anda di Taman Sari akan semakin lengkap dengan mengunjungi Sumur Gumuling dan Gedhong Sekawan. Keduanya merupakan titik yang sangat menarik, bukan hanya karena nilai sejarahnya yang tinggi, tetapi juga desain arsitekturnya yang menakjubkan.
Sumur Gumuling adalah salah satu ikon unik dari Taman Sari. Berbeda dengan masjid pada umumnya, Sumur Gumuling merupakan masjid bawah tanah berbentuk melingkar menyerupai cincin besar dengan ruang terbuka di tengahnya. Untuk mencapai lokasi ini, Anda harus menuruni terowongan bawah tanah yang pada masanya sering kali dialiri air, sehingga menambah kesan misterius sekaligus menegaskan fungsinya sebagai tempat ibadah yang sunyi. Di setiap sisi dinding bangunan terdapat ceruk yang berfungsi sebagai mihrab, tempat imam memimpin salat.
Keistimewaan Sumur Gumuling terletak pada struktur tangga di tengahnya. Empat tangga dari empat arah bertemu pada satu titik, lalu dari pertemuan ini muncul satu tangga yang naik ke lantai atas. Struktur ini bukan hanya cerdas dari sisi arsitektural, tetapi juga sarat filosofi tentang perjalanan spiritual menuju titik keseimbangan tertinggi. Konon, di bawah pertemuan tangga tersebut terdapat kolam kecil yang digunakan untuk berwudu sebelum salat. Saat berada di dalam Sumur Gumuling, Anda akan merasakan suasana yang hening, hanya terdengar gema langkah kaki sendiri yang menambah kesyahduan.
Sementara itu, Gedhong Sekawan terletak tak jauh dari Sumur Gumuling. Gedhong ini merupakan empat bangunan identik yang berjajar rapi dan dahulu digunakan sebagai tempat peristirahatan Sultan beserta keluarga. Ciri khas Gedhong Sekawan terlihat pada desain simetris dengan empat pintu di setiap sisi bangunan, menciptakan harmoni visual yang sangat memanjakan mata. Interiornya yang sederhana menonjolkan keanggunan klasik, menjadikannya spot foto yang tidak kalah populer dibandingkan Sumur Gumuling.
Menikmati waktu di Sumur Gumuling dan Gedhong Sekawan membawa Anda seakan mundur ke masa lalu, membayangkan betapa damainya suasana kerajaan ketika keluarga Sultan menikmati saat-saat tenang di tempat ini. Tak jarang pula pengunjung memilih duduk sejenak di sekitar Gedhong Sekawan untuk sekadar menikmati angin sepoi-sepoi sembari memandangi arsitektur menawan yang penuh cerita.
3. Mengunjungi Gapura Panggung, Simbol Estetika Taman Sari
Tidak lengkap rasanya mengunjungi Taman Sari tanpa singgah di Gapura Panggung. Gerbang ini bukan hanya sekadar akses masuk, tetapi juga salah satu elemen estetika paling penting dalam keseluruhan desain kompleks Taman Sari. Gapura Panggung terdiri dari dua tingkat dengan hiasan ornamen ular naga yang terukir cantik di sisi tangganya. Ukiran ini tidak hanya memperindah tampilan, tetapi juga menyiratkan simbol penjagaan sekaligus keagungan, sesuai filosofi Jawa.
Pada masa kejayaannya, bagian atas Gapura Panggung difungsikan sebagai tempat Sultan dan permaisurinya menyaksikan pertunjukan tari atau berbagai hiburan lain yang diadakan di halaman bawah. Dari posisi ini, Sultan dapat dengan nyaman mengamati setiap pertunjukan tanpa harus berbaur langsung dengan khalayak ramai, menegaskan batas antara bangsawan dengan rakyat biasa dalam tatanan sosial tradisional.
Bagian bawah gapura, selain menjadi jalur masuk, juga difungsikan sebagai ruang ganti dan tempat berhias bagi penari atau tamu kehormatan sebelum naik ke panggung pertunjukan. Hal ini menjadikan Gapura Panggung tidak hanya indah, tetapi juga sangat fungsional.
Kini, Gapura Panggung telah beralih fungsi menjadi salah satu titik foto favorit wisatawan. Setiap sudutnya memberikan latar belakang yang estetis, baik untuk foto individu maupun foto keluarga. Wisatawan sering kali berpose di tangga dengan latar ornamen naga, atau mengambil gambar dari bawah agar keseluruhan gapura tampak megah menjulang.
Berjalan menyusuri Gapura Panggung dan membayangkan bagaimana Sultan serta permaisuri berdiri di atasnya, mengamati tarian tradisional Jawa yang anggun, akan memberikan Anda pengalaman batin tersendiri. Bukan hanya wisata sejarah, tetapi juga wisata rasa yang mendekatkan Anda pada nuansa kerajaan masa lalu.
Tips Menyenangkan Saat Berkunjung ke Kampung Wisata Taman Sari
Agar kunjungan ke Taman Sari semakin berkesan, ada baiknya Anda mempersiapkan beberapa hal berikut ini. Tips-tips ini akan membantu memastikan perjalanan Anda berjalan lancar, nyaman, sekaligus turut menjaga kelestarian situs bersejarah yang berharga ini.
1. Pilih Pakaian Yang Tepat Dan Sopan
Taman Sari memiliki area yang cukup luas dengan jalanan berbatu dan beberapa undakan. Kenakanlah pakaian yang nyaman untuk berjalan jauh, serta sepatu yang tidak licin. Selain itu, mengingat Taman Sari adalah situs warisan budaya yang sakral bagi masyarakat Yogyakarta, kenakan pakaian yang sopan: hindari pakaian terlalu terbuka, hormati nilai-nilai lokal.
2. Manfaatkan Jasa Pemandu Lokal
Untuk memahami sejarah, fungsi bangunan, serta berbagai lorong bawah tanah Taman Sari, Anda bisa menyewa jasa pemandu wisata setempat. Mereka biasanya adalah warga asli Kampung Taman yang turun-temurun menjaga cerita tentang Taman Sari. Dengan bantuan pemandu, Anda akan mendapatkan penjelasan menarik yang membuat kunjungan jauh lebih hidup dan bermakna.
3. Selalu Jaga Kebersihan
Bawalah kantong plastik kecil untuk sampah pribadi. Jika tidak menemukan tempat sampah, simpanlah sampah Anda terlebih dahulu hingga menemukan titik pembuangan. Tindakan kecil ini sangat berarti untuk menjaga keasrian Taman Sari agar tetap nyaman dikunjungi wisatawan lain.
4. Jangan Merusak Fasilitas
Salah satu tantangan besar dalam menjaga situs bersejarah adalah ulah tangan-tangan jahil yang merusak atau mencoret dinding bangunan. Tahan diri untuk tidak meninggalkan coretan, mengukir nama, atau mematahkan bagian ornamen. Ingat, bangunan ini telah bertahan selama ratusan tahun dan merupakan warisan tak ternilai.
Dengan memperhatikan hal-hal sederhana ini, Anda tak hanya akan memperoleh pengalaman liburan yang menyenangkan, tetapi juga ikut berkontribusi dalam melestarikan salah satu ikon penting budaya Jawa.
Alamat dan Peta Lokasi
Alamat: Patehan, Kraton, Yogyakarta City, Special Region of Yogyakarta 55133