Bandar Udara Adisutjipto (IATA: JOG, ICAO: WAHH) adalah bandara utama yang melayani wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sebelum beroperasinya Bandara Internasional Yogyakarta (YIA). Bandara ini terletak di Kapanéwon Depok, Kabupaten Sleman, sekitar 10 km dari pusat Kota Yogyakarta, dengan waktu tempuh sekitar 20–30 menit menggunakan kendaraan bermotor.
Namun, seiring dengan pertumbuhan drastis jumlah penumpang dan frekuensi penerbangan, kapasitas Bandara Adisutjipto mulai mengalami tekanan. Bandara ini memiliki keterbatasan lahan untuk pengembangan lebih lanjut, mengingat bandara berada di tengah kawasan permukiman dan dekat dengan wilayah urban. Alhasil, landas pacu dan terminal penumpang tidak dapat diperluas secara signifikan, sementara permintaan masyarakat akan penerbangan domestik dan internasional terus meningkat setiap tahunnya.
Menanggapi situasi tersebut, pada 29 Maret 2020, sebagian besar kegiatan penerbangan domestik dan seluruh penerbangan internasional secara resmi dipindahkan ke Bandar Udara Internasional Yogyakarta (YIA) di Kapanéwon Temon, Kulon Progo. Pemindahan operasional penerbangan reguler ke YIA tersebut bertujuan untuk mengatasi keterbatasan kapasitas dan mempersiapkan Yogyakarta menghadapi lonjakan wisatawan maupun perkembangan ekonomi yang pesat. Dengan demikian, terhitung mulai saat itu, Bandara Adisutjipto beralih fungsi untuk melayani penerbangan pesawat baling-baling (propeller), penerbangan kargo, serta penerbangan nonkomersial (misalnya, penerbangan militer, pelatihan, dan sebagainya).
Walaupun peran utamanya sebagai gerbang penerbangan komersial kini beralih ke YIA, Adisutjipto tetap memegang nilai historis dan strategis yang tidak dapat diabaikan. Bandara ini pernah menjadi cerminan pesatnya perkembangan industri penerbangan di Yogyakarta, sekaligus saksi peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah perjuangan kedirgantaraan Indonesia. Kehadiran lapangan terbang ini pun telah mendorong roda ekonomi masyarakat di sekitarnya, membuka kesempatan kerja dalam bidang transportasi, akomodasi, perdagangan, serta pariwisata.
Daftar Isi
Sejarah Bandara Adisutjipto
Nama Adisutjipto itu sendiri diambil dari sosok Komodor Muda Udara Anumerta Agustinus Adisutjipto, seorang perintis Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang gugur dalam peristiwa pesawat Dakota VT-CLA pada 29 Juli 1947. Pengabadian namanya pada bandara ini menggantikan nama lama, yaitu Pangkalan Udara Maguwo. Perubahan penamaan tersebut dilaksanakan atas kebijakan Kepala Staf Angkatan Udara pada tahun 1952, dengan maksud untuk menghormati dan mengabadikan jasa para pahlawan AURI yang berkontribusi besar dalam mempertahankan dan mengembangkan kedirgantaraan Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan.
Pada perkembangannya, bandar udara ini juga pernah menyandang status sebagai bandara internasional. Status tersebut diperoleh ketika beberapa maskapai nasional dan asing membuka rute internasional, seperti Garuda Indonesia dengan penerbangan Yogyakarta–Kuala Lumpur pada tahun 2004, yang kemudian disusul rute Yogyakarta–Singapura, serta kehadiran maskapai-maskapai asing (AirAsia, Malaysia Airlines, dan sebagainya). Namun, akibat keterbatasan ruang dan lonjakan volume lalu lintas udara, penerbangan internasional di sini tidak berlangsung konsisten. Garuda Indonesia sempat menghentikan rute internasional pada tahun 2006, lalu maskapai asing seperti AirAsia dan Malaysia Airlines mengambil alih rute Yogyakarta–Kuala Lumpur.
Dari Lapangan Terbang Maguwo Hingga Pangkalan Udara
Masa Awal dan Pemanfaatan Militer Luchtvaart
Asal usul Bandar Udara Adisutjipto dapat ditelusuri ke awal dekade 1940-an, ketika lapangan terbang Maguwo dibangun di wilayah yang kini masuk dalam Kapanéwon Depok, Kabupaten Sleman. Pada mulanya, lapangan terbang ini dikembangkan dan dikelola oleh Militaire Luchtvaart yang berada di bawah otoritas pemerintah Hindia Belanda. Nama “Maguwo” diambil dari nama desa tempat lapangan terbang tersebut berdiri. Fasilitas aviasi pada masa itu masih sangat terbatas, dengan landasan pacu yang belum memenuhi standar tinggi karena ditujukan terutama untuk kepentingan militer Belanda.
Sejak tahun 1942, ketika Kota Yogyakarta jatuh ke tangan Jepang, pangkalan udara Maguwo pun dialihfungsikan oleh Tentara Jepang untuk menunjang kepentingan perang di Asia Tenggara. Dalam situasi Perang Dunia II, pangkalan udara menjadi salah satu instalasi pertahanan yang sangat strategis. Namun, masa kependudukan Jepang di wilayah ini tidak berlangsung lama. Pada November 1945, setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, lapangan terbang Maguwo berhasil dikuasai oleh Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jogjakarta Timur, dipimpin oleh Bapak Umar Slamet.
Tahun 1945 menjadi titik penting dimana pangkalan udara Maguwo diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Republik Indonesia. Tidak lama kemudian, lapangan ini difungsikan sebagai Pangkalan Angkatan Udara (AURI) dengan berbagai kegiatan militer, termasuk operasional pesawat-pesawat AURI dan pelatihan penerbang. Pangkalan udara ini menjadi cikal bakal berdirinya “sekolah penerbang” untuk melatih kadet-kadet Angkatan Udara, di bawah arahan Agustinus Adisutjipto.
Peran Strategis Pasca-Kemerdekaan
Insiden Pesawat Dakota di Ngoto
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia berusaha mempertahankan kedaulatannya di tengah agresi militer Belanda yang belum sepenuhnya mengakui kemerdekaan RI. Hal ini berdampak langsung pada aktivitas lapangan terbang Maguwo. Salah satu peristiwa bersejarah yang terjadi adalah insiden penembakan pesawat Dakota C-47 dengan registrasi VT-CLA pada 29 Juli 1947, yang dibawa oleh pilot Australia mantan perwira RAAF bernama Noel Constantine beserta kopilot asal Inggris, Roy Hazelhurst. Di dalam pesawat tersebut turut Komodor Udara Agustinus Adisutjipto, Komodor Udara Prof. Dr. Abdulrahman Saleh, operator radio Adi Soemarmo Wirjokusumo, Zainal Arifin, serta teknisi asal India, Bidha Ram. Pesawat tersebut ditembak jatuh oleh Belanda menggunakan pesawat P-40 KittyHawk di kawasan Ngoto, Bantul, dekat Yogyakarta.
Peristiwa ini merenggut nyawa tokoh-tokoh penting AURI, termasuk Agustinus Adisutjipto dan Abdulrahman Saleh, yang kelak namanya diabadikan menjadi nama pangkalan udara. Momen ini menjadi bukti nyata betapa vitalnya peran pangkalan udara dalam perjuangan bangsa. Meskipun menyedihkan, insiden tersebut semakin menguatkan semangat untuk mempertahankan Lapangan Terbang Maguwo sebagai aset pertahanan dan kebanggaan nasional.
Pergantian Nama Menjadi Adisutjipto
Memasuki tahun 1950, lapangan terbang Maguwo dan fasilitas pendukungnya, termasuk bagian pembekalan, diserahkan secara penuh kepada AURI. Sejak itu, terjadi serangkaian penyesuaian nama pangkalan udara, sejalan dengan perkembangan fungsi dan peranan TNI Angkatan Udara. Puncaknya, berdasarkan Keputusan Kepala Staf Angkatan Udara Nomor 76 Tahun 1952 tertanggal 17 Agustus 1952, nama Pangkalan Udara Maguwo resmi diubah menjadi Pangkalan Udara Adisutjipto untuk mengenang Komodor Muda Udara Anumerta Agustinus Adisutjipto yang gugur dalam insiden Dakota VT-CLA. Langkah ini juga sejalan dengan kebijakan AURI yang mengganti nama pangkalan udara militer di berbagai wilayah Indonesia dengan nama para pelopor dan pahlawan Angkatan Udara, seperti Halim Perdanakusuma (Jakarta), Abdulrachman Saleh (Malang), dan Husein Sastranegara (Bandung).
Keputusan ini mempertegas identitas dan nilai sejarah pangkalan udara di Yogyakarta. Selain menjadi basis militer, pangkalan ini juga mulai dipersiapkan untuk melayani penerbangan sipil, sebagai wujud sinergi antara kepentingan pertahanan dan pengembangan infrastruktur transportasi udara. Berbagai perbaikan fasilitas seperti perpanjangan landasan pacu, pembangunan terminal, dan peningkatan sistem navigasi mulai dilakukan secara bertahap.
Fase Pemanfaatan Sipil dan Perkembangan Komersial
Menjadi Pelabuhan Udara Sipil-Militer Gabungan
Tahun 1964 menandai babak baru bagi pangkalan udara Adisutjipto. Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, atas persetujuan TNI Angkatan Udara, mengeluarkan keputusan yang mengizinkan Pangkalan Udara Adisutjipto untuk difungsikan sebagai pelabuhan udara gabungan sipil dan militer. Kebijakan ini membuka jalan bagi penerbangan komersial untuk beroperasi. Perluasan terminal sipil pertama dilakukan pada tahun 1972, disusul perluasan kedua pada tahun 1977, menjadikan bandara ini semakin layak menampung lalu lintas penumpang domestik.
Perkembangan infrastruktur dipacu seiring dengan meningkatnya minat masyarakat akan transportasi udara. Letak Yogyakarta yang strategis di jantung Pulau Jawa menjadikannya titik penting bagi berbagai rute antarkota, bahkan rute internasional. Perusahaan penerbangan nasional seperti Merpati Nusantara, Garuda Indonesia, serta maskapai swasta mulai membuka trayek ke dan dari Yogyakarta, menjadikan Adisutjipto sebagai bandara yang sibuk.
Pada 1 April 1992, sesuai dengan PP Nomor 48 Tahun 1992, Bandar Udara Adisutjipto ditempatkan di bawah pengelolaan Perum Angkasa Pura I. Langkah ini mengintegrasikan pengelolaan bandara dengan standar manajemen modern, di mana aspek keselamatan, pelayanan, dan operasional menjadi perhatian utama. Satu tahun kemudian, tepatnya 2 Januari 1993, status pengelolaan berubah lagi menjadi PT (PERSERO) Angkasa Pura I, memperkuat lembaga pengelola agar lebih lincah dan profesional dalam menghadapi persaingan industri aviasi yang semakin kompetitif.
Baca Juga: 7 Perbedaan Bandara Adisutjipto dan Yogyakarta International Airport (YIA)
Perkembangan Bandara Adisutjipto Menuju Era Modern
Transformasi Menjadi Bandara Internasional
Pembukaan Rute Pertama dan Dinamika Internasional
Bandar Udara Adisutjipto resmi menyandang status “internasional” pada 21 Februari 2004. Garuda Indonesia menjadi maskapai pertama yang memperkenalkan penerbangan internasional langsung, mengoperasikan rute Yogyakarta–Kuala Lumpur. Hanya berselang sebulan, Garuda Indonesia membuka rute Yogyakarta–Singapura. Kedua rute ini sempat memicu kegembiraan industri pariwisata, mengingat Yogyakarta memiliki potensi wisata budaya yang besar. Wisatawan asing kini bisa menjangkau kota ini tanpa harus transit di bandara lain.
Namun, terdapat dinamika operasional yang tidak selalu kondusif. Pada November 2006, Garuda Indonesia menghentikan rute-rute internasionalnya karena alasan efisiensi dan pembaruan strategi bisnis. Keputusan ini membuat Adisutjipto kehilangan sebagian lalu lintas internasional. Meski demikian, pada 30 Januari 2008, AirAsia mulai mengisi kekosongan tersebut dengan membuka rute Yogyakarta–Kuala Lumpur menggunakan Airbus A320. Tidak lama berselang, Malaysia Airlines ikut bergabung, mengoperasikan Boeing 737-400 untuk melayani jalur yang sama. April 2008, AirAsia meningkatkan frekuensi penerbangan ini hingga setiap hari.
Kemudian, pada 16 Desember 2008, Garuda Indonesia kembali menghadirkan rute Yogyakarta–Singapura dengan jadwal tertentu (Selasa, Kamis, dan Sabtu). Ini menandakan bahwa minat masyarakat dan wisatawan mancanegara masih tinggi terhadap destinasi Yogyakarta. Aneka upaya kolaborasi pun dilakukan, baik oleh pemerintah daerah maupun pelaku industri pariwisata, untuk menjaga agar bandara ini tetap diincar sebagai gerbang menuju kekayaan budaya dan alam Yogyakarta.
Terbatasnya Kapasitas dan Ketidakseimbangan Permintaan
Akan tetapi, status internasional itu dihadapkan pada kenyataan terbatasnya infrastruktur Bandara Adisutjipto. Letak bandara yang berada di area yang padat penduduk menjadikan upaya perluasan landas pacu dan apron sebagai tantangan besar. Landas pacu bandara ini pun relatif pendek dan belum sepenuhnya ideal untuk menampung pesawat berbadan lebar. Meski terminal sempat diperluas beberapa kali, kepadatan penumpang pada jam sibuk tak terelakkan lagi.
Keterbatasan ruang ini membuat penerbangan internasional yang tumbuh pesat menjadi sulit dilayani secara optimal. Pergerakan pesawat yang padat menimbulkan antrian panjang, baik saat lepas landas maupun mendarat. Isu keselamatan, seperti jarak pandang, radius belok, dan manuver di area udara sekitar bandara, menjadi perhatian serius. Karena itu, gagasan untuk membangun bandara baru di Kulon Progo mulai digulirkan pada era 2010-an.
Dampak Beroperasinya Yogyakarta International Airport (YIA)
Pemindahan Mayoritas Penerbangan
Impian membangun bandara baru dengan lahan lebih luas akhirnya terwujud ketika Bandar Udara Internasional Yogyakarta (YIA) di Temon, Kulon Progo, mulai beroperasi sebagian pada 2019 dan beroperasi penuh sejak 29 Maret 2020. Dampaknya, sebagian besar penerbangan domestik dan seluruh penerbangan internasional dialihkan ke YIA. Dengan runway yang lebih panjang, terminal lebih luas, serta lokasi yang memungkinkan ekspansi jangka panjang, YIA disiapkan untuk menjadi pusat transportasi udara utama di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kebijakan ini menjadikan Bandara Adisutjipto beralih ke posisi lebih terbatas. Di sisi komersial, maskapai yang masih bertahan antara lain Citilink, yang mengoperasikan rute Jakarta–Halim Perdanakusuma dengan pesawat berjenis baling-baling atau jet kecil yang tidak memerlukan landas pacu panjang. Adapun rute-rute internasional tak lagi berangkat dari Adisutjipto, sebab YIA telah didaulat sebagai satu-satunya bandara internasional dengan fasilitas memadai.
Konsekuensi Bagi Penduduk dan Ekonomi Lokal
Pemindahan rute penerbangan berskala besar ini jelas memunculkan dampak bagi masyarakat. Bagi sebagian orang, khususnya mereka yang tinggal dekat pusat kota, jarak ke YIA yang mencapai 45 kilometer dirasa menyulitkan. Namun, di lain pihak, pembukaan YIA juga diharapkan mampu meratakan pembangunan infrastruktur ke wilayah barat Yogyakarta. Adapun keberadaan Bandara Adisutjipto tetap penting bagi beberapa komunitas seperti sekolah penerbangan, TNI Angkatan Udara, serta perusahaan kargo yang memerlukan akses cepat tanpa harus menghadapi kepadatan jadwal di bandara baru.
Kemunculan YIA pula sedikit banyak mempengaruhi intensitas transportasi darat. Beberapa rute angkutan umum seperti Trans Jogja, taksi, dan travel yang tadinya ramai di sekitar Adisutjipto, kini mengalihkan pelayanannya untuk menjangkau YIA. Meski begitu, PT Angkasa Pura I tetap menjaga agar Adisutjipto tidak terbengkalai, mengingat bandara ini berpotensi menjadi pusat kegiatan penerbangan khusus (baling-baling, militer, kargo, dsb.), termasuk flight training.
Maskapai dan Tujuan Penerbangan Saat Ini
Saat ini, Bandara Adisutjipto masih melayani penerbangan dengan pesawat berbadan kecil, khususnya jenis ATR dan pesawat kargo. Maskapai yang beroperasi di bandara ini adalah:
- Citilink: Rute Jakarta–Halim Perdanakusuma.
Pasca beralihnya mayoritas penerbangan ke YIA, tak banyak maskapai yang mempertahankan jadwal di Bandara Adisutjipto. Berdasarkan data terbaru, Citilink menjadi salah satu maskapai yang masih mengoperasikan rute Jakarta–Halim Perdanakusuma dari bandara ini. Mengingat jarak landas pacu yang terbatas dan kebijakan relokasi penerbangan, pesawat baling-baling atau regional jet menjadi pilihan paling memungkinkan untuk beroperasi di Adisutjipto.
Kehadiran Citilink ini tetap memberi opsi bagi penumpang yang ingin bepergian jarak pendek tanpa harus menuju Kulon Progo. Namun, intensitas penerbangannya relatif rendah ketimbang ketika Adisutjipto masih berstatus bandara utama. Beberapa maskapai lain fokus memindahkan semua jadwal ke YIA, terutama mereka yang mengandalkan pesawat berbadan sedang hingga besar, guna memperoleh kinerja penerbangan lebih optimal.
Statistik Penumpang dari Tahun ke Tahun
Jumlah penumpang di Bandara Adisutjipto mencapai puncaknya pada tahun 2018 dengan total 8.417.089 penumpang. Namun, pada tahun 2019, jumlah ini turun menjadi 6.850.714 penumpang akibat harga tiket yang lebih tinggi. Setelah beroperasinya YIA serta dampak pandemi Covid-19, jumlah penumpang di Bandara Adisutjipto terus menurun, dengan hanya 123.948 penumpang pada tahun 2022.
Data menunjukkan bahwa puncak jumlah penumpang pesawat di Bandar Udara Adisutjipto terjadi pada tahun 2018, dengan catatan 8.417.089 penumpang naik-turun di bandara tersebut. Namun, memasuki tahun 2019, jumlahnya turun menjadi 6.850.714, dipengaruhi isu kenaikan harga tiket pesawat pada waktu itu. Kondisi berubah semakin signifikan pada tahun 2020, di mana terjadi dua faktor krusial: pemindahan operasional ke YIA dan pandemi Covid-19. Akibatnya, jumlah penumpang di Adisutjipto anjlok menjadi 1.523.153 di tahun 2020.
Dampak pandemi dan perpindahan penerbangan pun berlanjut pada tahun 2021, di mana bandara ini hanya mencatat 140.011 penumpang. Angka itu semakin turun pada tahun 2022, menyentuh 123.948 penumpang saja. Angka ini sangat jauh dibanding era puncak 2018 yang menembus lebih dari 8 juta penumpang. Hal tersebut menggambarkan transformasi besar-besaran yang dialami Adisutjipto: dari bandara utama DI Yogyakarta menjadi bandara sekunder yang hanya melayani operasi terbatas.
Untuk memudahkan pemahaman, berikut tabel resmi jumlah penumpang di Bandara Adisutjipto sejak tahun 2014:
Tahun | Jumlah Penumpang |
---|---|
2014 | 6.236.578 |
2015 | 6.380.336 |
2016 | 7.212.526 |
2017 | 7.818.551 |
2018 | 8.417.089 |
2019 | 6.850.714 |
2020 | 1.523.153 |
2021 | 140.011 |
2022 | 123.948 |
Dari tabel di atas, terlihat jelas betapa drastisnya penurunan jumlah penumpang, khususnya mulai 2019 hingga 2022. Faktor perpindahan penerbangan ke YIA, kebijakan maskapai terkait harga tiket, dan pembatasan perjalanan selama pandemi berkontribusi besar pada menurunnya trafik penumpang di Adisutjipto. Meskipun demikian, penurunan ini sekaligus menunjukkan bahwa peran bandara telah beralih sesuai rancangan pemerintah dan operator, di mana YIA difokuskan untuk skala operasi lebih besar.
Baca Juga: Jadwal Kereta Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) Terbaru 2025
Transportasi Umum ke Bandara Adisutjipto
Meskipun sebagian besar penerbangan telah dialihkan ke YIA, Bandara Adisutjipto masih dapat diakses menggunakan transportasi umum, antara lain:
- KAI Commuter Yogyakarta-Solo (stasiun terdekat: Stasiun Maguwo).
- Trans Jogja:
- 1A: Terminal Prambanan – Malioboro.
- 1B: Bandara Adisutjipto – Ngabean.
- 3A: Terminal Giwangan – Terminal Condongcatur.
- 3B: Terminal Giwangan – Bandara Adisutjipto.
- DAMRI:
- Adisutjipto-Kebumen.
- Adisutjipto-Magelang.
- Adisutjipto-Purworejo.
Bandara Adisutjipto memainkan peran penting dalam sejarah penerbangan Yogyakarta dan Indonesia. Meskipun sebagian besar peran penerbangan komersial telah dialihkan ke YIA, bandara ini tetap menjadi bagian penting dari infrastruktur penerbangan nasional, terutama dalam mendukung penerbangan pesawat berbadan kecil, kargo, dan operasional militer.