Sejak abad ke-15, Yogyakarta—sebagaimana sumbu kebudayaan Jawa lainnya—menjaga denyut Islam melalui cara‐cara yang memadukan dakwah, kesenian, dan pranata kerajaan. Salah satu puncak integrasi itu adalah Sekaten, perayaan warisan Wali Sanga yang digelar saban 5–12 Rabiulawal (Mulud). Tradisi yang merupakan salah satu budaya dari Jogja ini merekatkan pesan kenabian Muhammad SAW dengan langgam estetika Mataram: gamelan sekati bertalu, wangi bunga kantil merebak di pelataran Masjid Gedhe, sementara kerumunan rakyat—kota hingga desa—bergabung dalam ritus yang sama. Explore Jogja disini akan membahas tentng Sekaten—mulai definisi, sejarah, tujuan sakral maupun sosial, rangkaian prosesi, hingga pantangan yang wajib ditaati.
Daftar Isi
Apa Itu Sekaten?
Definisi Linguistik
Kata Sekaten berinduk pada istilah “syahadatain”—dua kalimat persaksian inti akidah Islam. Melalui proses adaptasi fonetik Jawa, syahadatain meluruh menjadi “sakhatain”, “sekati”, dan akhirnya sekaten. Di lingkup Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat kata ini juga dikaitkan dengan gamelan sekati—seperangkat ansambel pusaka bernama Kangjeng Kiai Gunturmadu dan Kangjeng Kiai Nagawilaga—yang hanya boleh ditabuh sepanjang pekan perayaan. Tafsir kebahasaan lain menyematkan makna suka ati (senang hati) atau sekati (setimbang), menekankan keseimbangan batin penabuh dan jamaah.
Sekaten Versus Grebeg
Sekaten bukan upacara tunggal: ia rangkaian yang memuncak pada Grebeg Mulud tanggal 12 Rabiulawal. Selama enam hari, atmosfer keraton diisi bunyi gamelan, bazar rakyat, dan syiar keagamaan; pada hari ketujuh, Sultan “menurunkan” gunungan sebagai sedekah negara. Relasi ini menegaskan bahwa Sekaten adalah fase edukasi-emosional, sedangkan Grebeg menjadi fase sedekah-komunal.
Genealogi Historis: Dari Demak ke Yogyakarta
Sunan Kalijaga dan Kerajaan Demak
Sejarah Sekaten berawal di Demak (abad ke-15). Sunan Kalijaga merancang perayaan kelahiran Nabi sebagai medium dakwah untuk masyarakat Hindu-Buddha: orkestra gamelan ditabuh di serambi Masjid Agung, wayang kulit dihelat semalam suntuk, dan raja membagikan tumpeng gunungan hasil bumi. Strategi budaya itu berhasil—Islam diterima tanpa friksi budaya.
Adopsi Mataram dan Politik Kesultanan
Ketika Kesultanan Mataram bangkit (abad ke-16), tradisi tersebut diadopsi, lalu diwariskan ke Kasunanan Surakarta serta Kasultanan Yogyakarta pasca-Perjanjian Giyanti 1755. Sri Sultan Hamengkubawa I menetapkan Sekaten sebagai ritual istana bertingkat: spiritual (maulid), pendidikan (syiar), ekonomi (pasar malam), dan loyalitas politik (kehadiran bupati‐bupati mancanegara membayar upeti).
Evolusi Kolonial ke Republik
Pada era Hindia Belanda, pejabat VOC duduk di Sitihinggil menyaksikan upacara sebagai simbol protektorat. Sesudah 1945, unsur upeti dihapus; Sekaten bertransformasi menjadi warisan budaya publik dan agenda pariwisata, namun inti sakralnya—doa maulid, tabuh gamelan, sedekah gunungan—tetap lestari.
Tujuan dan Nilai-Nilai Sekaten
Dimensi Teologis
Memperingati maulid adalah raison d’être Sekaten: menghidupkan teladan Rasulullah, membangkitkan rasa syukur, dan menyeru umat melafalkan syahadat. Karena itu pembacaan Simthud Durâr serta Barzanji di Masjid Gedhe menjadi elemen tak terpisahkan.
Dimensi Sosial-Kebudayaan
Keraton memosisikan Sekaten sebagai ruang interaksi lintas kelas: rakyat desa, saudagar Tionghoa, bangsawan Pakualaman, hingga wisatawan mancanegara menyatu tanpa sekat. Pasar malam Muludan—menjual apem, sate kere, mainan kayu—menjadi stimulus ekonomi UMKM.
Dimensi Politik-Simbolik
Kirab prajurit, keluarnya bendera ampilan dalem, dan pidato tausiahnya menegaskan Sultan sebagai khalifatullah ing Ngayogyakarta: pemimpin spiritual sekaligus politik yang menjamin kesejahteraan.
Struktur Prosesi Sekaten
Sekaten merupakan salah satu tradisi budaya paling sakral dan bersejarah yang diselenggarakan oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Perayaan ini digelar setiap tahun dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan budaya masyarakat Yogyakarta. Prosesi Sekaten tidak sekadar ritual keagamaan, tetapi juga simbol kearifan lokal, kekuatan spiritual, dan hubungan harmonis antara raja dengan rakyatnya. Upacara ini terdiri dari lima prosesi utama: Miyos Gangsa, Numplak Wajik, Kondur Gangsa, Garebeg, dan Bedhol Songsong. Masing-masing memiliki nilai filosofis dan makna budaya yang mendalam.
Miyos Gangsa: Simbol Dimulainya Sakralitas Sekaten
Prosesi pertama dalam rangkaian Sekaten adalah Miyos Gangsa. Secara harfiah, “miyos” berarti keluar, dan “gangsa” merujuk pada gamelan. Oleh karena itu, Miyos Gangsa merupakan ritual keluarnya dua perangkat gamelan keramat Keraton Yogyakarta, yaitu Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga, dari dalam keraton menuju Bangsal Pancaniti dan Plataran Kamandhungan Lor. Gamelan-gamelan tersebut tidak sembarangan, melainkan hanya dimainkan dalam momen-momen suci seperti Sekaten.
Prosesi ini dilangsungkan setiap tanggal 5 Mulud (Rabiul Awal) dan biasanya dimulai pukul 15.00 WIB. Gamelan mulai ditabuh oleh para abdi dalem gamelan dengan irama khas Sekaten yang menyiratkan kebesaran, sakralitas, dan suasana spiritual. Tidak hanya sekadar pertunjukan musik, bunyi gamelan ini dipercaya memiliki kekuatan untuk membuka pintu-pintu batin masyarakat yang hadir, sebagai bagian dari penyambutan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Tepat pukul 20.00 WIB, dilakukan prosesi pembagian udhik-udhik oleh utusan keraton kepada masyarakat yang hadir. Udhik-udhik berupa campuran bunga, beras, uang logam, dan biji-bijian yang disebar ke kerumunan warga di area Bangsal Pancaniti. Filosofi dari udhik-udhik ini adalah sebagai simbol kemurahan hati seorang raja yang memberikan sedekah kepada rakyatnya. Masyarakat yang hadir pun percaya bahwa mendapatkan udhik-udhik akan membawa berkah dan keselamatan.
Kemudian, pada pukul 23.00 WIB, kedua perangkat gamelan ini diarak ke Masjid Gedhe Kauman untuk dimainkan selama enam hari berturut-turut, kecuali pada waktu-waktu salat dan malam Jumat. Selama prosesi Miyos Gangsa berlangsung, suasana Yogyakarta akan berubah menjadi lebih sakral, diiringi dengan aroma bunga dan suara gamelan yang mengalun lembut di udara malam.
Numplak Wajik: Penanda Persiapan Gunungan Sekaten
Tiga hari sebelum puncak perayaan Sekaten, tepatnya pada tanggal 9 Mulud, Keraton mengadakan prosesi Numplak Wajik. Prosesi ini berlangsung sekitar pukul 15.40 WIB dan dilaksanakan di area dalam keraton. Numplak berarti ‘menancapkan’ atau ‘menempelkan’, sedangkan wajik adalah makanan khas yang terbuat dari ketan dan gula merah. Dalam prosesi ini, wajik diletakkan di bagian tengah Gunungan Wadon, yaitu salah satu jenis gunungan yang akan dikirab pada saat Garebeg berlangsung.
Prosesi ini dipimpin langsung oleh salah satu putri Sultan atau perempuan dari kalangan keraton yang dituakan. Nuansa kebangsawanan sangat terasa karena para peserta menggunakan busana adat yang elegan. Sementara itu, wajik yang digunakan tidak sembarangan. Wajik tersebut dibuat secara khusus dengan mengikuti aturan adat, seperti jumlah, ukuran, dan bentuknya. Semua ini mengandung filosofi kesuburan, kemakmuran, dan rezeki yang manis seperti rasa wajik itu sendiri.
Selain Numplak Wajik, pada saat yang sama digelar pula Gladhi Prajurit—latihan formasi dan strategi pasukan pengawal gunungan. Sepuluh bregada atau satuan pasukan keraton yang terlibat dalam prosesi Garebeg akan berlatih menggunakan atribut lengkap, mulai dari tombak, perisai, hingga baju perangnya. Pelatihan ini bukan hanya sebagai persiapan teknis, tetapi juga sebagai simbol kesiapan spiritual dan fisik dalam menjaga kemuliaan upacara Sekaten.
Prosesi Numplak Wajik mengajarkan pentingnya kolaborasi, gotong royong, serta semangat persiapan yang matang dalam menyambut momen besar. Di sisi lain, kehadiran perempuan dalam prosesi ini juga menunjukkan posisi penting perempuan dalam struktur budaya keraton.
Kondur Gangsa: Simbol Kembali ke Pusat Kesucian Keraton
Setelah gamelan suci Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga dimainkan selama enam hari di Masjid Gedhe Kauman, tiba waktunya untuk dikembalikan ke dalam lingkungan keraton melalui prosesi yang dikenal dengan nama Kondur Gangsa. “Kondur” dalam bahasa Jawa berarti kembali, dan “gangsa” adalah istilah untuk gamelan. Maka dari itu, prosesi ini merupakan ritual penutupan rangkaian gamelan Sekaten dengan mengembalikannya ke tempat asalnya.
Prosesi Kondur Gangsa dilakukan pada tanggal 11 Mulud (Rabiul Awal), tepat pukul 23.00 WIB. Tidak dilakukan secara sembarangan, prosesi ini dilaksanakan dengan pengawalan ketat oleh dua pasukan khusus keraton, yaitu Prajurit Mantrijero dan Prajurit Ketanggung. Kedua prajurit ini bertugas menjaga keamanan dan kekhidmatan jalannya arak-arakan gamelan kembali ke dalam keraton.
Menariknya, sebelum prosesi Kondur Gangsa dimulai, Sri Sultan Hamengku Buwono terlebih dahulu menghadiri upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Gedhe Kauman. Dalam upacara tersebut, dilakukan pembacaan riwayat kelahiran Nabi Muhammad SAW atau Barzanji, yang dibawakan oleh Kyai Penghulu. Upacara ini menandai peran spiritual yang sangat penting dari pemimpin keraton, bukan hanya sebagai penguasa, tetapi juga sebagai panutan umat Muslim di Yogyakarta.
Dalam prosesi ini, terdapat pula simbol khusus yang dikenakan oleh Sri Sultan, yaitu Simping Mlathi yang disematkan di telinga kiri beliau. Simping mlathi merupakan sejenis hiasan dari bunga melati yang bermakna bahwa seorang raja harus selalu mendengarkan aspirasi rakyatnya. Dengan simbol ini, Sultan menunjukkan bahwa dirinya bukan hanya pemegang kekuasaan, tetapi juga pelayan masyarakat yang senantiasa terbuka terhadap suara rakyat.
Prosesi Kondur Gangsa bukan sekadar aktivitas pemindahan alat musik, tetapi juga penutup spiritual dari perjalanan panjang perayaan Sekaten. Gamelan tidak hanya kembali secara fisik ke dalam keraton, namun juga secara simbolik mengembalikan energi spiritual dan berkah yang telah disebarkan ke masyarakat selama perayaan. Maka tidak heran jika masyarakat turut mengantar atau menyaksikan prosesi ini dengan rasa hormat yang dalam, karena mereka meyakini bahwa berkah dan ketenteraman akan kembali menyertai keraton dan rakyatnya.
Garebeg: Perwujudan Sedekah Raja untuk Rakyat
Puncak dari seluruh rangkaian prosesi Sekaten adalah Garebeg Mulud, yang dilaksanakan setiap tanggal 12 Mulud (Rabiul Awal). Dalam bahasa Jawa, “garebeg” berarti ‘iring-iringan besar’ atau ‘keramaian yang teratur’, dan dalam konteks ini merujuk pada arak-arakan besar pembagian gunungan—simbol sedekah dari raja kepada rakyat.
Pada hari tersebut, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menyelenggarakan Hajad Dalem, yaitu bentuk persembahan dari sultan kepada masyarakat sebagai wujud rasa syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW dan simbol kedekatan antara raja dan rakyatnya. Total terdapat tujuh gunungan yang dipersiapkan untuk dibagikan, di antaranya:
- Tiga Gunungan Kakung
- Satu Gunungan Estri
- Satu Gunungan Darat
- Satu Gunungan Gepak
- Satu Gunungan Pawuhan
Ketujuh gunungan ini mewakili keberagaman sumber kehidupan, baik dari hasil bumi, hasil laut, maupun simbol kekuatan dan keberkahan. Setiap gunungan dibentuk sedemikian rupa dari beras, ketan, kacang panjang, cabe, gula merah, telur, dan aneka hasil bumi lainnya. Gunungan tidak hanya sebagai sesajen simbolik, tetapi juga dipercaya membawa keberkahan.
Gunungan kemudian dikirab oleh Bregada Prajurit Keraton, yaitu pasukan-pasukan tradisional yang mengenakan busana adat lengkap dengan atribut khas seperti tombak, pedang, atau senapan laras panjang. Prosesi ini dimulai sekitar pukul 11.00 WIB, dengan rute dari dalam keraton menuju ke tiga lokasi utama: Masjid Gedhe Kauman, Kepatihan (kantor pemerintahan), dan Pura Pakualaman.
Setibanya di lokasi tujuan, gunungan dibagikan kepada masyarakat. Prosesi pembagian ini biasanya berlangsung cepat dan penuh semangat, karena masyarakat percaya bahwa memperoleh bagian dari gunungan akan membawa keberkahan rezeki, keselamatan, dan kemakmuran.
Makna filosofis dari Garebeg bukan sekadar sedekah materi, tetapi juga sebagai bentuk komunikasi spiritual antara sultan dan rakyatnya. Tradisi ini menegaskan peran sultan sebagai pengayom dan pelindung rakyat, serta perwujudan nilai Islam dalam budaya Jawa.
Bedhol Songsong: Penutup Sakral dalam Rangkaian Sekaten
Prosesi terakhir dalam rangkaian upacara Sekaten adalah Bedhol Songsong, sebuah ritual sakral yang menandai berakhirnya seluruh perayaan. Istilah “bedhol” dalam bahasa Jawa berarti “mencabut” atau “mengambil kembali”, sedangkan “songsong” adalah istilah untuk payung agung milik Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu, Bedhol Songsong secara harfiah berarti pengambilan kembali atau pencabutan payung kerajaan dari tempatnya semula di Plataran Pagelaran.
Prosesi ini digelar setiap tanggal 12 Mulud (Rabiul Awal) pada malam hari, tepatnya pukul 20.00 WIB. Lokasinya berada di Bangsal Pagelaran, yakni bagian depan dari Keraton Yogyakarta yang selama upacara Sekaten menjadi pusat berbagai kegiatan adat dan pertunjukan. Pada saat ini, songsong agung yang sebelumnya dipasang sebagai simbol kehadiran dan perlindungan spiritual raja terhadap rakyatnya, secara simbolis diturunkan dan dibawa kembali ke dalam keraton. Ini menjadi penanda bahwa masa Sekaten telah resmi berakhir.
Makna Simbolik Bedhol Songsong
Prosesi Bedhol Songsong memiliki makna yang mendalam. Songsong bukan sekadar payung fisik, melainkan simbol dari aura kekuasaan dan wibawa seorang Sultan. Selama Sekaten, payung ini dikeluarkan dari kedhaton (inti keraton) sebagai tanda bahwa raja “turun” atau hadir menyapa rakyatnya melalui rangkaian upacara. Maka dari itu, pengembalian songsong bukan hanya tindakan fisik, tapi juga simbol bahwa energi spiritual dan perlindungan raja telah selesai diberikan untuk tahun itu.
Dengan dibedholnya songsong dari Plataran Pagelaran, seluruh masyarakat memahami bahwa fase perayaan telah selesai, dan kehidupan akan kembali ke ritme normal. Ini menunjukkan keseimbangan antara dunia sakral dan dunia profan, antara kegiatan keagamaan yang kental dengan tradisi, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta.
Dimeriahkan dengan Pertunjukan Wayang Kulit
Tidak hanya prosesi penurunan songsong, malam Bedhol Songsong juga diramaikan oleh pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Pertunjukan ini diselenggarakan sebagai bentuk hiburan rakyat sekaligus media pendidikan moral dan spiritual yang khas dalam budaya Jawa.
Wayang kulit yang dimainkan biasanya mengangkat lakon-lakon klasik seperti Pandawa, Ramayana, atau Mahabharata, yang mengandung nilai-nilai luhur seperti keadilan, kesetiaan, pengorbanan, dan kepemimpinan. Di samping itu, pertunjukan wayang juga merupakan sarana dakwah atau penyebaran ajaran Islam yang dibungkus dalam bentuk budaya tradisional, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Sunan Kalijaga pada masa Wali Songo.
Pertunjukan ini digelar terbuka untuk umum, dan warga dari berbagai kalangan—mulai dari anak-anak hingga orang tua—berkumpul menyaksikannya di area keraton atau sekitarnya. Kegiatan ini menjadi momen spesial yang mempertemukan rakyat dan budaya leluhur dalam satu ruang dan waktu.
Penutup Sekaten yang Penuh Kesan
Bedhol Songsong menjadi klimaks penutupan spiritual dan budaya dari seluruh rangkaian Sekaten, yang telah berlangsung sejak Miyos Gangsa hingga Garebeg. Prosesi ini menunjukkan bahwa Keraton Yogyakarta masih sangat menjunjung tinggi adat dan tradisi yang diwariskan dari para leluhur. Sekaten bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga wujud keterhubungan antara keraton, Islam, budaya Jawa, dan rakyatnya.
Dengan selesainya prosesi Bedhol Songsong, maka secara resmi berakhir pula Sasana Sekaten tahun itu. Rakyat pun kembali pada aktivitas sehari-hari, namun meninggalkan kenangan spiritual dan budaya yang sangat membekas. Tradisi seperti ini menjadi bukti hidup bahwa meskipun zaman telah berubah, kearifan lokal dan warisan budaya Yogyakarta masih terus lestari dan tetap relevan di tengah masyarakat modern.
Pantangan dan Etika Sakral Sekaten
- Abdi dalem niyaga wajib puasa mutih sehari sebelum menabuh; dilarang berkata kasar, menyalahi sopan santun, atau melangkahi instrumen pusaka.
- Gamelan sekati tidak boleh dimainkan malam Jumat, Jumat siang sebelum azan Zuhur, serta saat hujan lebat (khawatir suwara neglig).
- Masyarakat dilarang menyentuh gunungan sebelum doa kabul dibacakan; pelanggaran dipercaya berakibat “sumpeg rezeki”.
- Prajurit membawa senapan kosong—peluru tajam tabu demi keselamatan; namun laras wajib diarahkan ke atas sebagai etika menghormati tamu.
Pelestarian, Tantangan, dan Inovasi
Edukasi Generasi Muda
Tepas Panitrapura bekerja sama dengan sekolah menengah mengadakan “Magang Sekaten”: pelajar belajar menatah janur, membuat wajik, dan menabuh sampel gamelan digital. Modul daring berbahasa Indonesia-Inggris diunggah ke laman resmi keraton.
Manajemen Kerumunan Modern
Sejak 2018, Pemda DIY memasang CCTV di Alun-alun Utara, menggunakan drone pemantau, serta “jalur tali” evakuasi radial. Tim medis, relawan SAR, dan pemadam ditempatkan di empat pos.
Ekonomi Kreatif
Bazar Muludan diarahkan menjual produk heritage: batik motif Sekar Mulud, kopi Jebres, miniatur gunungan dari tanah liat. Dinas Koperasi menyeleksi 600 UMKM agar mutu terjaga.
Sekaten sebagai Jembatan Zaman
Di tengah desakan urbanitas dan budaya populer global, Sekaten bertahan sebagai narasi kolosal yang menyatukan syiar Islam dengan estetika Jawa. Bunyi gong Gunturmadu menggaung menembus abad; wajik manis melebur bersama doa rakyat; gunungan luruh menjadi pupuk spiritual yang menyuburkan solidaritas.
Tradisi ini membuktikan bahwa dakwah dapat mengedepankan keindahan, sedekah dapat menghadirkan sukacita, dan kerajaan dapat bersinergi dengan republik tanpa kehilangan marwah. Selama simpang Malioboro masih menampung langkah penziarah, selama kalimat syahadat bergema di Masjid Gedhe, Sekaten akan terus menjadi cermin identitas Yogyakarta: plural, toleran, dan senantiasa “sekati”—seimbang—antara iman dan budaya, dunia dan akhirat.