Grebeg Besar: Simbol Syukur dan Solidaritas Jogja

Dari Rajawedha Hindu-Buddha hingga sedekah raja era digital, Grebeg Besar Yogyakarta membuktikan bahwa tradisi bukan artefak statis, melainkan organisme sosial yang terus beradaptasi. Di tengah kibaran bendera prajurit, dentang gamelan, dan serbuan rakyat memungut cabai merah, tersirat pesan abadi: kekuasaan sejati harus meneteskan kemakmuran; ibadah tak lengkap tanpa solidaritas. Selama nasi gurih tetap menempel di puncak gunungan, selama langkah prajurit Wirabraja masih menggetarkan alun-alun, Grebeg Besar akan terus menjadi jembatan—menghubungkan langit kurban Nabi Ibrahim dengan bumi agraris Mataram Islam, serta mengukuhkan Yogyakarta sebagai pusat budaya yang ngayomi (melindungi) dan hangandurbeni (berbagi rezeki) kepada seluruh kawula.

Pengertian dan Posisi Grebeg Besar dalam Kalender Keraton

Grebeg Besar sebagai Wajah Syukur dan Solidaritas Yogyakarta

Grebeg Besar adalah upacara agung keraton yang diselenggarakan tepat pada tanggal 10 Zulhijah (disebut “Besar” dalam kalender Jawa) untuk memuliakan Hari Raya Iduladha. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengelompokkan tradisi ini bersama dua “grebeg” lain—Grebeg Syawal (1 Syawal) dan Grebeg Mulud (12 Rabiulawal)—sehingga dalam satu tahun terdapat tiga kali sedekah raja kepada rakyat. Kata grebeg (atau garebeg) bersumber dari istilah Jawa gumrebeg yang menggambarkan deru angin atau riuh-ramai orang banyak; maknanya menekankan suasana gegap gempita yang memang menjadi ciri khas arak-arakan gunungan. Tradisi ini bukan semata pesta visual: ia adalah medium dakwah, instrumen sedekah sosial, serta pernyataan politis bahwa raja tetap hadir mengayomi sekaligus berbagi rezeki dengan kawula.

Secara struktural, Grebeg Besar di Yogyakarta menampilkan tujuh buah gunungan: tiga Gunungan Lanang (kakung) dan masing-masing satu Gunungan WadonDaratGepak, serta Pawuhan. Rangkaian sayur, buah, ketela, kue kering, hingga nasi gurih disusun dalam kerangka bambu berbentuk kerucut atau silinder, kemudian diarak oleh para abdi dalem yang mengenakan beskap merah-marun, jarik biru-tua bermotif bunga, dan nyeker (tanpa alas kaki) sebagai simbol kerendahan hati di hadapan Yang Mahakuasa. Kirab sedekah tersebut dikawal sepuluh bregada prajurit—di antaranya Wirabraja, Dhaeng, Patangpuluh, dan Surakarsa—serta dua bregada dari Kadipaten Pakualaman, yaitu Lombok Abang dan Plangkir.

Fungsi Grebeg Besar berlapis. Pertama, religius: ia menggemakan semangat kurban Nabi Ibrahim sembari menegaskan syariat berbagi kepada sesama. Kedua, agrarisgunungan merepresentasikan puncak siklus panen; dengan “menurunkannya” kepada rakyat, Sultan meneguhkan peran raja sebagai custodian kesuburan tanah. Ketiga, kultural-politik: kirab prajurit, hadirnya keluarga besar raja, serta bendera kebesaran ampilan dalem menampilkan kelangsungan otoritas Kasultanan di tengah sistem negara republik. Bagi warga Yogyakarta dan wisatawan, Grebeg Besar juga menjadi atraksi wisata spiritual yang menautkan pengalaman religi, seni, dan kuliner—karena setiap serpih cabai merah, kacang panjang, atau apem yang berhasil direbut dipercaya membawa “berkah” lancar rezeki sepanjang tahun. Dengan demikian, Grebeg Besar tidak dapat dilepaskan dari perjalanan panjang identitas Yogyakarta sebagai kota budaya yang memadukan unsur Islam, Jawa, dan tradisi monarki.

Sejarah dan Transformasi Grebeg Besar dari Rajawedha ke Sedekah Raja

Akar Grebeg Besar terentang jauh sebelum lahirnya Keraton Yogyakarta. Pada era kerajaan agraris Jawa-Hindu, raja menggelar Rajawedha—ritual sedekah hasil bumi untuk memohon restu Dewa Kesuburan dan menjamin keseimbangan kosmos (kawijayan). Ketika Islam datang, para Wali Songo—khususnya Sunan Kalijaga—menyusun strategi dakwah adaptif: elemen Rajawedha diintegrasikan ke dalam peringatan Maulid dan Iduladha melalui Sekaten dan Grebeg di Kesultanan Demak. Tumpeng raksasa dikemas ulang menjadi gunungan; musik gamelan diperbesar dan bergema di pelataran masjid; rakyat diundang merayakan sambil menerima sedekah raja.

Tradisi itulah yang diadopsi langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I sesudah Perjanjian Giyanti (1755). Sang pendiri Kasultanan Yogyakarta menegakkan tiga Grebeg tahunan untuk meneguhkan identitasnya sebagai “Khalifatullah ing Jawi”—wakil Allah di tanah Jawa—sekaligus pewaris sah dinasti Mataram. Grebeg Besar sejak awal diposisikan sebagai upacara yang paling sarat nuansa kurban: pada masa lampau, selain gunungan, Keraton juga memotong kerbau pilihan di alun-alun sebagai lambang kepatuhan hamba kepada Sang Khalik.

Pada abad XIX, kolonial Hindia Belanda memanfaatkan Grebeg sebagai panggung politik. Para resident dan pejabat VOC diundang duduk sejajar dengan pepati dalem di Sitihinggil, memperlihatkan relasi “protektorat” antara pemerintah kolonial dan keraton. Namun esensi sedekah rakyat tak berubah: setelah doa selesai, abdi dalem memutus ikatan gunungan, rakyat tumpah-ruah merebut sayur, buah, dan kue.

Memasuki era Republik Indonesia, Grebeg Besar mengalami tiga penyesuaian besar. Pertama, sistem upeti dari bupati mancanegara dihapus; kirab kini berfokus pada sedekah simbolik Sultan. Kedua, jumlah gunungan distandardisasi menjadi tujuh buah lewat Peraturan Keraton 1970-an, lalu diteguhkan kembali oleh UU Keistimewaan DIY 2012. Ketiga, dimensi pariwisata ditingkatkan: sejak 1980-an Dinas Pariwisata menempatkan tribun wisatawan, panduan multibahasa, dan menyiarkan kirab melalui televisi lokal. Walau demikian, tahapan sakral—Gladireksik Prajurit, Numplak Wajik, Bethak, hingga kirab 10 Dhulhijjah—tetap dipelihara sebagaimana pranata awal abad XVIII.

Perjalanan historis ini menjadikan Grebeg Besar sebuah “living heritage” yang lentur namun teguh pada substansi: sedekah raja sebagai jembatan vertikal manusia-Tuhan dan horizontal raja-rakyat. Inilah wajah sinkretisme Jawa-Islam yang bertahan melewati kolonialisme, revolusi, hingga globalisasi.

Anatomi dan Filosofi Gunungan Grebeg Besar

Anatomi dan Filosofi Gunungan Grebeg Besar

Jantung Grebeg adalah gunungan, konstruksi bambu berbentuk kerucut atau silinder yang diselubungi bahan pangan. Dalam Grebeg Besar terdapat lima jenis dengan total tujuh buah—aturan baku pasca-2012:

  1. Gunungan Lanang (3) – kerucut besar disusun kacang panjang, cabai merah, kelapa utuh, telur bebek, dan nasi gurih di inti. Melambangkan kearifan, keberanian, dan peran protektif Sultan sebagai “ayah” rakyat.
  2. Gunungan Wadon (1) – bentuk keranjang bunga berisi wajik, roti gambang, kembang kantil, melati. Mewakili rahim bumi, kesuburan, dan kasih sayang.
  3. Gunungan Darat (1) – kombinasi ketela, ubi, kacang tanah—hasil akar—menggambarkan kekuatan dasar perekonomian rakyat.
  4. Gunungan Gepak (1) – puncak datar dipenuhi apem, rengginang, intip; simbol “guyub-rukunnya” lapisan sosial yang diikat oleh karbohidrat—energi kolektif.
  5. Gunungan Pawuhan (1) – janur kuning berhias buah segar (pisang raja, jambu, manggis, nanas); mengisyaratkan regenerasi dan harapan panen berikutnya.

Komposisi tersebut bukan kebetulan; ia hasil musyawarah Tepas Pawon (dapur istana) dan Panitrapura (protokol). Bahan dipasok desa-desa menurut “giliran wilayah”, mendorong pemerataan ekonomi. Penggunaan kelapa dan kacang panjang, misalnya, dialokasikan pada petani Kulon Progo; telur bebek dari Sleman; ketela dari Gunungkidul.

Secara simbolik, gunungan merepresentasikan Gunung Meru, pusat kosmologi Hindu-Buddha yang kemudian diislamisasi menjadi “gunung barokah” (jabal al-barakah). Saat ikatannya dipotong, rakyat meyakini energi kosmis dan doa raja “tumpah” ke tangan mereka. Cabai digantung di warung untuk tolak bala, ketela ditanam ulang agar kebun subur, apem dimakan anak-anak supaya hidup manis. Bagi antropolog, praktik ini meneguhkan mutualism panen—sedikit rezeki istana beredar ke kelas bawah, memicu sirkulasi pangan urban pedesaan.

Baca Juga: Kunjungi Wisata Alun-alun Kidul Yogyakarta, Coba Berbagai Aktivitas Menarik, Info Lokasi, dan Sejarahnya

Pelaksanaan Kontemporer: Persiapan, Kirab, dan Perebutan Berkah

Grebeg Besar sebagai Wajah Syukur dan Solidaritas Yogyakarta

Rangkaian Pra-Hari-H (Gladireksik & Numplak Wajik)

Seminggu sebelum 10 Zulhijjah, Gladireksik Prajurit digelar di Alun-alun Utara; sepuluh bregada berlatih baris-berbaris, tembakan salvo, dan formasi sayap. Tiga hari jelang puncak, Numplak Wajik dilaksanakan di Panti Pareden: abdi dalem menempelkan wajik di pucuk gunungan estri sambil menabuh lesung—makna “hidup bermula dari rahim.” Malam takbiran, dapur istana menyalakan bhesalen raksasa, menanak nasi gurih dalam ritual Bethak.

Hari Puncak: Susunan Kirab dan Titik Serah

Pukul 07.00 WIB, tujuh gunungan tersusun di Bangsal Pancaniti, Plataran Kamandhungan Lor. Dentuman meriam Wirabraja memberi aba-aba. Rute kirab: Regol Danopratopo → Pagelaran → Alun-alun Utara → simpang Pangurakan. Lima gunungan dikawal ke Masjid Gedhe Kauman; satu diiring Surakarsa-Bugis ke Kantor Kepatihan; satu diarak Bregada Pakualaman menuju Puro Paku Alaman.

Doa dipimpin Kangjeng Kyai Pengulu; usai “tanda kabul” diucap, tali rafia (zaman dulu rotan) dipotong—perebutan dimulai. Rakyat berdesakan; kepolisian dan PMI menyiagakan jalur evakuasi radial. Dalam tempo lima menit, kerangka bambu tersisa polos, tanda sedekah raja menyatu dengan dapur rakyat.

Partisipan: Lintas Struktur Sosial

Helatan ini melibatkan:

  • 600 abdi dalem (narakarya, pangrawit, juru saji)
  • ± 340 prajurit bregada reguler 60 prajurit Pakualaman
  • Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Basarnas, PMI, dan 400 relawan mahasiswa
  • Ribuan warga dari 78 kapanéwon yang bergiliran sebagai penggotong

Model partisipasi massal inilah yang membuat Grebeg Besar bertahan sebagai “pesta rakyat” sekaligus “upacara kerajaan”.

Dimensi Sosial, Politik, dan Pelestarian Grebeg Besar

Grebeg Besar menunaikan fungsi sosial-ekonomi: menyalurkan pangan saat harga daging kurban melonjak, mendorong transaksi kuliner tradisional (kue bunga, sate kere, es dawet). Menurut Dispar DIY, 2023 menghasilkan perputaran uang ± Rp 45 miliar dalam tiga hari libur Iduladha—hotel, UMKM batik, jasa becak, dan kuliner di sekitar Malioboro ikut meraup berkah.

Secara politik, kirab memperlihatkan harmoni kerajaan dan pemerintah republik: gunungan kakung ke Kepatihan mengisyaratkan dukungan moral Sultan sebagai Gubernur DIY. Aspek kultural moderasi beragama juga kuat: umat non-Muslim turut berdagang, menonton, bahkan ikut pasukan jaga—menandakan toleransi khas Yogyakarta.

Pelestarian menghadapi tantangan: kerawanan massa, komersialisasi liar, dan regenerasi abdi dalem. Keraton dan Pemda DIY menjawab dengan digitalisasi dokumentasi, crowd-management berbasis CCTV, serta program Magang Budaya bagi pelajar. Pada 2022, Grebeg Besar dimasukkan ke dalam daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO (tentative list) bersama sumbu filosofi Tugu–Keraton–Panggung Krapyak.


Rizki

Rizki

Rizki Purnama adalah seorang travel content writer berbakat dengan pengalaman dalam menulis tentang destinasi wisata dan petualangan. Ia memiliki kecintaan yang mendalam terhadap dunia perjalanan dan selalu bersemangat untuk berbagi pengalaman dan cerita menarik melalui tulisannya.
https://xplorejogja.com