Di Daerah Istimewa Yogyakarta, hubungan antara raja, rakyat, dan alam selalu diikat oleh jalinan upacara. Salah satu yang paling tua, sakral, sekaligus paling “senyap” bagi pelancong awam adalah Labuhan—sebuah Hajad Dalem yang setiap tahun dilaksanakan oleh Keraton Yogyakarta.
Upacara ini tidak berorientasi pada tontonan gemerlap seperti Garebeg (Grebeg) atau Sekaten; ia lebih merupakan laku spiritual untuk meletakkan sesaji, membuang simbol-simbol kedirian, serta mengungkap rasa syukur atas anugerah kehidupan.
Artikel di Explore Jogja ini akan menelusuri asal-usul, makna filosofis, jenis upacara, tahapan teknis, serta nilai pelestarian Labuhan. Diharapkan pembaca bukan sekadar memperoleh informasi, tetapi juga menangkap nafas kearifan lokal yang terus berdenyut di tanah Mataram.
Daftar Isi
Asal-Usul Sejarah Labuhan
Riwayat Labuhan bermula pada akhir abad ke-XVI, ketika Panembahan Senapati—pendiri Kesultanan Mataram Islam—masih berjuang memperkokoh legitimasi politiknya. Babad Tanah Jawi merekam kisah Senapati bertapa di Pantai Parangkusumo.
Di sana ia disebut menjalin “perjanjian gaib” dengan Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan. Sang Ratu menjanjikan dukungan astral bagi kejayaan Mataram; imbalannya, dinasti Senapati wajib mengirim persembahan secara berkala. Persembahan itulah yang mewujud sebagai Labuhan—larung sesaji ke laut, hutan, gunung, dan pertapaan.
Setelah Mataram terpecah oleh Perjanjian Giyanti (1755), tradisi Labuhan diwariskan kepada Kasunanan Surakarta dan terutama Kasultanan Ngayogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono I menegaskan bahwa kewajiban leluhur terhadap alam gaib tidak boleh putus, karena kelalaian diyakini membuka pintu bencana.
Dari masa ke masa, garis kontinuitas ini bertahan: raja berganti, sistem politik bertransformasi, namun Labuhan senantiasa hadir sebagai penanda bahwa Yogyakarta masih berpegang pada “konstitusi kosmos” pendirinya. Sejak 1989, di era Sri Sultan Hamengku Buwono X, jadwal Labuhan disesuaikan dengan kalender penobatan (Jumenengan Dalem).
Upacara tahunan dilakukan setiap 30 Rejeb (disebut Labuhan Alit), sedangkan upacara sewindu sekali digelar pada tahun Dal dan disebut Labuhan Ageng. Penyesuaian ini tidak mengubah esensi ritus; justru menegaskan bahwa upacara istana mampu berdialog dengan konteks tanpa kehilangan roh.
Makna Filosofis dan Simbolik
Melihat Labuhan hanya sebatas action membuang barang akan menutup tirai makna terdalamnya. Kata “labuh” bisa ditafsir sebagai melepaskan, menebar, sekaligus menyerahkan diri. Inti ritual adalah penanggalan ego raja—rambut, kuku, dan pakaian Sultan yang dilepaskan—sebagai perlambang kerendahan hati di hadapan Yang Mahakuasa.
Secara kosmologis, Labuhan menegakkan prinsip tri tangtu Jawa: Tuhan, manusia, dan alam harus berada dalam sumbu keseimbangan. Sesaji (dunia manusia) dilepas ke laut atau gunung (alam) dengan doa kepada Gusti (Tuhan) agar tercipta harmoni.
Ada pula dimensi etis-spiritual: rambut dan kuku adalah sisa metabolisme tubuh yang rentan membawa leteh (kotoran batin). Dengan melarungnya, Sultan seolah membersihkan diri sekaligus memohon agar segala sipat elek—keserakahan, amarah, iri—turut hanyut.
Upacara ini juga meneguhkan peran Sultan sebagai Rajamandala: pusat sekaligus pelindung rakyat. Persembahan dilakukan atas nama kerajaan; abdi dalem menjadi perpanjangan tangan; sementara rakyat yang hadir percaya akan mendapat berkah jika memperoleh serpihan kain atau bunga sesaji.
Nilai gotong royong pun tercermin: sejak tahap persiapan hingga pendakian ke Merapi, semua pihak bekerja sukarela. Di balik kesan mistis, Labuhan sebentuk pendidikan karakter—mengajak manusia modern untuk ingat asal usul, sadar keterbatasan, dan tidak congkak memaksakan kehendak kepada alam.
Jenis dan Pola Upacara
Daya tarik budaya Jogja Labuhan terbagi dalam dua kategori utama—Alit dan Ageng—yang keduanya sama sakral, berbeda pada keluasan lokasi dan jenis sesaji.
Labuhan Alit
Upacara ini berlangsung tiap tahun, sehari setelah peringatan Jumenengan Dalem. Benda‐benda pribadi Sri Sultan—potongan rambut, kuku, kain, serta layon sekar (bunga layu dari pusaka) dikemas dalam tiga kotak kayu. Masing-masing kotak dibawa ke:
- Cepuri Parangkusumo, Bantul—melalui prosesi larung ke Laut Selatan;
- Sri Manganti – Alas Bedengan, Gunung Merapi, Sleman—dalam bentuk penanaman sesaji di lubang batu;
- Cemoro Sewu, Gunung Lawu, Karanganyar—diletakkan pada altar batu di punggung gunung.
Labuhan Ageng
Digelar setiap tahun Dal—delapan tahun sekali—menandai lingkaran windu penobatan. Selain tiga lokasi di atas, satu kotak tambahan dikirim ke Selo Payung, Dlepih Kahyangan, Wonogiri, sebuah pertapaan sakral di lereng Gunung Lawu sisi selatan.
Benda sesaji juga bertambah: sebuah payung putih-emas (songsong pethak seret praos) yang khusus ditancapkan di Lawu sebagai simbol payung langit. Karena skala upacara lebih besar, jumlah abdi dalem dan prajurit yang terlibat pada Labuhan Ageng pun meningkat, begitu pula durasi perjalanan dan peminat masyarakat.
Tahapan Prosesi Lapangan Tradisi Labuhan
Pelaksanaan Labuhan bukan sekadar seremonial satu pagi; ia diawali sebulan sebelumnya dengan penyiapan ubarampe oleh Pawon Gebulen dan Sakalangen. Menjelang 29 Rejeb malam, kotak sesaji disemayamkan di Bangsal Sri Manganti. Fajar esoknya, derap sepuluh Bregada Prajurit Keraton menggema dari Pracimosono—Wirabraja, Dhaeng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Surakarsa, Bugis, hingga Lombok Abang Pakualaman.
Barisan bergerak menuju Plataran Kamandhungan Lor, tempat kotak diangkat oleh narakarya (tenaga angkut) yang mendapat giliran dari desa-desa DIY. Rombongan lalu berpencar: satu menuju selatan (Parangkusumo) dengan truk, satu ke utara (Merapi) dengan jip lalu mendaki, satu ke timur (Lawu) dengan bus, dan khusus tahun Dal, satu ke tenggara (Dlepih).
Setiba di lokasi, juru kunci memimpin doa tahlil Jawa; kotak dilarung atau ditanam; sisa bunga dan kain dibagi kepada warga yang menanti dengan sabar. Di Parangkusumo misalnya, ombak menyapu kotak kayu, diiringi pekik “Hidup!” warga yang berebut kain.
Di Merapi, asap kemenyan berkelok di antara pinus; petilasan Mbah Maridjan seolah menjadi jembatan antara bumi dan langit. Semua selesai menjelang sore, lalu iring-iringan pulang ke keraton tanpa musik—sebagai tanda laku prihatin setelah melepaskan diri dari “dosa batin”.
Perbedaan Upacara Labuhan Alit dan Labuhan Ageng di Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta, sebagai pusat kebudayaan Jawa, memiliki berbagai tradisi dan upacara adat yang sarat makna dan filosofi. Salah satu tradisi yang masih dilestarikan hingga kini adalah Upacara Labuhan. Upacara ini merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur dan alam, serta sebagai permohonan keselamatan dan kesejahteraan bagi raja dan rakyatnya. Terdapat dua jenis Upacara Labuhan yang dilaksanakan oleh Keraton Yogyakarta, yaitu Labuhan Alit dan Labuhan Ageng. Keduanya memiliki perbedaan dalam hal waktu pelaksanaan, lokasi, serta perlengkapan yang digunakan.
Sejarah dan Makna Upacara Labuhan
Tradisi Labuhan telah ada sejak masa Kerajaan Mataram Islam dan pertama kali diperkenalkan oleh Panembahan Senopati. Konon, Panembahan Senopati menjalin perjanjian dengan Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan, yang salah satu syaratnya adalah memberikan persembahan dalam bentuk upacara Labuhan. Seiring waktu, tradisi ini menjadi bagian dari ritual kerajaan dan terus dilakukan oleh keturunan Kerajaan Mataram Islam, termasuk Keraton Yogyakarta, meskipun kerajaan mengalami perpecahan akibat Perjanjian Giyanti.
Secara etimologis, kata “Labuhan” berasal dari kata “labuh” yang berarti membuang, meletakkan, atau menghanyutkan. Dalam konteks upacara, Labuhan berarti memberikan sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat, sebagai bentuk penghormatan dan permohonan keselamatan.
Labuhan Alit: Upacara Tahunan
Waktu dan Lokasi Pelaksanaan
Labuhan Alit merupakan upacara yang dilaksanakan setiap tahun oleh Keraton Yogyakarta. Upacara ini biasanya diadakan pada tanggal 30 Rajab dalam kalender Jawa, sebagai peringatan hari penobatan Sultan. Lokasi pelaksanaan Labuhan Alit meliputi tiga tempat yang dianggap sakral, yaitu:
- Gunung Merapi: Gunung berapi aktif yang dianggap sebagai tempat sakral dan memiliki hubungan spiritual dengan Keraton.
- Pantai Parangkusumo: Pantai yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Kanjeng Ratu Kidul.
- Gunung Lawu: Gunung yang memiliki nilai spiritual dan sejarah bagi Keraton Yogyakarta.
Tujuan dan Makna
Labuhan Alit bertujuan untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi Sultan, keluarga Keraton, serta seluruh rakyat Yogyakarta. Upacara ini juga merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur dan roh-roh penjaga alam, serta sebagai sarana menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Perlengkapan dan Prosesi
Perlengkapan yang digunakan dalam Labuhan Alit meliputi berbagai jenis kain, makanan, dan benda-benda pribadi Sultan seperti potongan kuku dan rambut. Semua perlengkapan ini disiapkan dengan cermat dan diantarkan ke lokasi upacara oleh abdi dalem Keraton. Prosesi Labuhan Alit dilakukan dengan penuh khidmat, diawali dengan doa dan diakhiri dengan pelarungan sesaji ke laut atau penanaman di tempat yang telah ditentukan.
Labuhan Ageng: Upacara Sewindu
Waktu dan Lokasi Pelaksanaan
Labuhan Ageng merupakan upacara yang dilaksanakan setiap delapan tahun sekali (sewindu) oleh Keraton Yogyakarta. Upacara ini biasanya diadakan pada tahun Dal dalam kalender Jawa, sebagai peringatan penobatan Sultan. Lokasi pelaksanaan Labuhan Ageng meliputi empat tempat yang dianggap sakral, yaitu:
- Gunung Merapi
- Pantai Parangkusumo
- Gunung Lawu
- Kahyangan Dlepih: Tempat yang memiliki nilai spiritual dan sejarah bagi Keraton Yogyakarta.
Tujuan dan Makna
Labuhan Ageng bertujuan untuk memperingati penobatan Sultan, serta memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi Keraton dan seluruh rakyat Yogyakarta. Upacara ini juga merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur dan roh-roh penjaga alam, serta sebagai sarana menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Perlengkapan dan Prosesi
Perlengkapan yang digunakan dalam Labuhan Ageng lebih lengkap dan mewah dibandingkan Labuhan Alit. Selain perlengkapan yang digunakan dalam Labuhan Alit, Labuhan Ageng juga menggunakan payung khusus yang disebut “songsong pethak seret praos”, yang memiliki warna putih dan keemasan. Prosesi Labuhan Ageng dilakukan dengan penuh khidmat, diawali dengan doa dan diakhiri dengan pelarungan sesaji ke laut atau penanaman di tempat yang telah ditentukan.
Perbedaan antara Labuhan Alit dan Labuhan Ageng
Berikut adalah perbedaan utama antara Labuhan Alit dan Labuhan Ageng:
Aspek | Labuhan Alit | Labuhan Ageng |
---|---|---|
Waktu Pelaksanaan | Setiap tahun (30 Rajab) | Setiap delapan tahun sekali (tahun Dal) |
Lokasi Pelaksanaan | Gunung Merapi, Pantai Parangkusumo, Gunung Lawu | Gunung Merapi, Pantai Parangkusumo, Gunung Lawu, Kahyangan Dlepih |
Tujuan | Memohon keselamatan dan kesejahteraan | Memperingati penobatan Sultan dan memohon keselamatan |
Perlengkapan | Kain, makanan, potongan kuku dan rambut Sultan | Kain, makanan, potongan kuku dan rambut Sultan, payung khusus |
Prosesi | Doa dan pelarungan sesaji | Doa dan pelarungan sesaji |
Upacara Labuhan, baik Labuhan Alit maupun Labuhan Ageng, merupakan tradisi yang sarat makna dan filosofi, yang mencerminkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan leluhur. Melalui upacara ini, Keraton Yogyakarta tidak hanya menjaga kelestarian budaya, tetapi juga memperkuat identitas dan spiritualitas masyarakatnya. Pelestarian tradisi ini menjadi tanggung jawab bersama, agar warisan budaya yang berharga ini dapat terus hidup dan memberikan inspirasi bagi generasi mendatang.
Nilai Pelestarian dan Tantangan Kontemporer
Di era digital, Labuhan menghadapi dilema. Di satu sisi, ia menggoda wisatawan: visual prajurit berseragam tradisional, aura mistis laut selatan, serta kisah Ratu Kidul bak magnet konten media sosial.
Di sisi lain, keraton dan Dinas Kebudayaan khawatir sakralitas tergerus bila upacara berubah menjadi sekadar “event fotografi”. Jalan tengah ditempuh: publik diizinkan menonton—asalkan mematuhi batas pagar, mengenakan busana sopan, dan tidak melangkahi sesaji.
Selain aspek pariwisata, Labuhan juga relevan sebagai narasi ekoteologi. Larung kotak di Parangkusumo diiringi pesan memungut sampah pantai; pendakian Merapi mengajak reboisasi lereng; payung emas Lawu diharapkan meneduhkan cuaca ekstrem. Melalui ritual, masyarakat diingatkan bahwa kelestarian alam adalah tugas bersama.
Upaya dokumentasi akademik pun terus digiatkan—mulai dari penerbitan naskah babad digital, film etnografi, hingga lokakarya bagi generasi muda. Dengan demikian, Labuhan tidak membeku sebagai fosil budaya, melainkan berdenyut selaras zaman, tetap setia pada ruh hamemayu hayuning bawana—memperindah tata ciptaan.
Penutup
Tradisi Labuhan mengajarkan bahwa kekuasaan, betapapun tingginya, harus tunduk pada hukum alam dan etik kosmis. Ketika Sultan merelakan rambut, kuku, bahkan payung kebesaran larut ke laut, ia meneladankan kerendahan hati.
Ketika rakyat berebut bunga layu dengan keyakinan membawa berkah, terjalinlah jembatan batin antara istana dan kampung. Dan ketika gunung, laut, serta pertapaan menerima sesaji, manusia diingatkan: jagalah keseimbangan atau bersiap menanggung murka alam.
Bagi Anda yang ingin menyaksikan langsung, catatlah tanggal 30 Rejeb—datanglah pagi-pagi ke Parangkusumo atau Kinahrejo, rasakan debur ombak dan deru angin gunung bersatu dengan kidung doa Jawa. Kiranya pengalaman itu akan menanamkan kesadaran baru: bahwa di balik hiruk-pikuk modernitas, Nusantara masih menyimpan kunci-kunci lama untuk menjaga harmoni hidup.
Referensi foto: https://www.instagram.com/p/C-ZP1YAyC1g/