Tradisi Grebeg sebagai Representasi Syukur dan Kedermawanan Keraton

Grebeg—dieja pula Garebeg—ialah sebuah rangkaian perayaan tradisional Jawa, yang juga merupakan salah satu atraksi wisata budaya di Jogja yang telah diwariskan turun-temurun sejak Kerajaan Mataram Islam. Dalam konteks kontemporer, tradisi ini hidup subur di dua pusat kebudayaan Jawa, yakni Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Keraton Surakarta Hadiningrat. Pada level filosofis, Grebeg merupakan manifestasi rasa syukur sultan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan kemakmuran, sekaligus pernyataan kedermawanan raja kepada rakyatnya melalui simbol gunungan—tumpukan hasil bumi yang disusun menyerupai bukit kecil. Pada bab pendahuluan ini diuraikan kerangka makna Grebeg sebagai “jembatan” antara doktrin Islam, kebijakan sosial-politik keraton, dan kearifan ekologi agraris masyarakat Jawa.

Secara historis, Grebeg bermula dari strategi dakwah Wali Songo yang menempuh metode kultural: menanamkan ajaran Islam melalui medium seni dan ritus komunal agar selaras dengan laku budaya setempat. Sunan Kalijaga, tokoh sentral dakwah di wilayah Demak—Mataram, menyisipkan unsur syariat pada seremoni ucapan syukur agraris Hindu-Buddha, sehingga lahirlah gunungan (simbol jabal—gunung yang disebut dalam Al-Qur’an surah An-Nahl ayat 16) dan iringan prajurit berkuda menyerupai tawaf mengelilingi Ka‘bah. Waktu pelaksanaan diletakkan pada momen sakral kalender Hijriah: Syawal, Maulid, dan Zulhijah, agar unsur teologi semakin kuat.

Dalam praktik kekinian, Grebeg menjadi atraksi budaya berskala nasional—bahkan internasional—yang menarik wisatawan untuk menyaksikan pawai prajurit, dentang gamelan, serta perebutan berkah isi gunungan. Sekalipun mengalami komersialisasi wisata, inti teologis dan sosial Grebeg tetap terjaga: raja (atau pemerintah daerah) menegaskan peran pelindung rakyat, sedangkan warga membaca simbol gunungan sebagai “energi keberkahan” yang diyakini membawa kesuburan lahan dan kesehatan keluarga. Dengan demikian, Grebeg berfungsi multifaset: ritus religi, penopang identitas budaya, mekanisme distribusi pangan simbolik, dan sarana diplomasi pariwisata.

Sejarah Grebeg — Dari Istana Mataram hingga Dua Keraton Kembar

Sejarah Grebeg — Dari Istana Mataram hingga Dua Keraton Kembar

Awal Mula di Masa Sultan Agung dan Dakwah Sunan Kalijaga (± abad XVII)

Catatan Babad Tanah Jawi mengungkap bahwa konsep Grebeg dipopulerkan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1646) sebagai “strategi integrasi” antara Islam dan adat agraris Jawa. Beliau memerintahkan penyusunan hasil bumi dalam bentuk gunungan—padi, kacang panjang, cabai, telur itik, kelapa, dan kue apem—untuk diarak dari kedhaton ke masjid agung. Prosesi ini merekatkan elite istana dan petani: petani menyaksikan simbol kemakmuran, istana memperoleh legitimasi sebagai hamengku bawana (pemelihara jagat). Pengaruh Sunan Kalijaga tampak pada narasi kosmologis gunungan: warna-warna merah-putih-hijau mewakili iman-Islam-ihsan; kerucut melambangkan perjalanan ruhani manusia menuju puncak tauhid.

Kontinuitas di Keraton Yogyakarta dan Surakarta setelah Perjanjian Giyanti (1755)

Perjanjian Giyanti memecah Mataram menjadi dua entitas: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Kedua istana mengadopsi Grebeg dengan karakter masing-masing. Di Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwana I menetapkan tiga Grebeg resmi:

  • Grebeg Syawal (1 Syawal) — penanda Idulfitri;
  • Grebeg Besar (10 Zulhijah) — refleksi pengorbanan Nabi Ibrahim;
  • Grebeg Maulud (12 Rabiulawal) — puncak perayaan Sekaten.

Sementara di Surakarta, Sunan Pakubuwono III-IV menambah variasi Grebeg Pasa (Ramadan) dan Grebeg Mulud Gangsa sebagai bentuk devosi spesifik terhadap Wali Songo. Meski berbeda ritme, esensi sama: gunungan menjadi “hadiah” raja. Setelah 1945, kedua keraton memperoleh status berbeda—Yogyakarta menjadi Daerah Istimewa, Surakarta tidak—namun Grebeg tetap eksis karena didukung paguyuban abdi dalem, perangkat desa, dan pemerintah kota.

Grebeg sebagai Wisata Budaya di Era Modern

Pada dekade 1970-an, Kementerian Pariwisata mengemas Grebeg Yogyakarta ke dalam kalender Visit Indonesia. Pawai prajurit berpakaian abang-abrit (merah-hitam), dentum meriam Kyai Satsana, dan gemuruh gamelan Sekati mendongkrak kunjungan turis. Pemerintah DIY menetapkan koridor Malioboro–Alun-alun Utara sebagai zone pedestrian setiap Grebeg; hotel menyiapkan paket “Grebeg Experience.” Di Surakarta, gunungan dibawa menuju Masjid Agung Surakarta melalui Benteng Vastenburg—merekonstruksi memori Jawa-Eropa. Transformasi wisata ini menambah nilai ekonomi tradisi tanpa mencabut akar spiritualnya, sebab prosesi inti (doa khatib, udik-udik koin berkah, pembacaan sastra barzanji) tetap dijaga.

Jenis dan Kronologi Grebeg di Keraton Yogyakarta

Jenis dan Kronologi Grebeg di Keraton Yogyakarta

Grebeg Syawal: Apresiasi Setelah Puasa

Sesuai namanya, Grebeg Syawal dilaksanakan pagi 1 Syawal, diawali Shalat Ied di Masjid Gedhe Kauman. Sultan atau Gubernur DIY hadir mengenakan seragam lengkap jajar putih. Setelah khutbah, tembakan salvo meriam menandai keluarnya dua gunungan kakung (kerucut tinggi dari kacang panjang, cabai, telur) yang diarak prajurit Lombok Abang menuju halaman masjid. Salah satu gunungan dipersembahkan ke Pura Pakualaman sebagai bentuk kekerabatan dinasti; satu lagi diperebutkan rakyat. Filosofinya: selepas shaum, manusia kembali fitri—gunungan melambangkan rezeki halal yang harus diperebutkan secara sportif.

Grebeg Besar: Refleksi Kurban Zulhijah

Pada Grebeg Besar di tanggal 10 Zulhijah, Yogyakarta menampilkan lima gunungankakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat. Gunungan estri berbentuk keranjang bunga dari makanan kering dodol ketan, warna warni menggambarkan rahim alam. Pawohan terbuat dari buah segar—pisang, jambu, nangka—menunjukkan keberlimpahan tanaman tropis. Gepak berisi apem, wajik, roti gambang; dharat dari ketela dan kacang tanah, simbol sumber karbohidrat lokal. Prosesi diiringi gamelan Kodhok Ngorek, dipercaya suara “kodok” ini membuka pintu hujan berkah. Momentum ini menegaskan kewajiban sedekah sosial; Sultan mengamanahkan daging kurban ke panitia masjid-masjid desa.

Grebeg Maulud: Puncak Sekaten

Grebeg Maulud adalah yang paling meriah, jatuh 12 Rabiulawal. Dimulai tujuh hari sebelumnya dengan penabuhan gamelan Sekati (Guntur Madu & Naga Wilaga) di Pagongan. Malam 11 Rabiulawal digelar Jamasan Kyai Jimat di Roto Wijayan. Pagi perayaan, enam gunungan (lima jenis + pawohan khusus) keluar diiringi sepuluh bregada prajurit. Setiap delapan tahun (tahun Dal), Sultan menambah gunungan Kutug/Bromo—kerucut beras tabur kemenyan mengepul. Kutug tidak diperebutkan, tapi dibawa pulang ke kedhaton dan dibagi ke abdi dalem inti. Makna spiritual: asap kemenyan ngijing sukma (mengharumkan jiwa) dan menolak marabahaya delapan-tahunan.

Baca Juga: Jemparingan: Seni Tradisi Panahan Khas Yogyakarta

Struktur Gunungan dan Logistik Prosesi

Anatomi Gunungan

  • Molo (Sirah) — pucuk merah, menandakan iman. Diikat lonceng perunggu; bunyi genta saat gunungan goyah memberi nuansa dramatis.
  • Jangga — pengait bambu horizontal, menjaga stabilitas ketika prajurit memanggul.
  • Awak — tubuh putih, disusun makanan kering kupu-kupu, mendut, krasikan. Makna spiritual: kesucian niat menghadapi kehidupan.
  • Gembol — bola kecil di dasar (warna kuning), menjadi pengurang nilai saat mengenai tanah—simbol “harta tak boleh jatuh sia-sia.”

Satu gunungan kakung membutuhkan ± 750 tusuk kacang panjang, 480 cabai merah, 40 butir kelapa, dan 100 telur itik. Penyusunan dikerjakan abdi dalem Pawon di Panti Pareden (kompleks Kamagangan) dua hari sebelum Grebeg—sesi ini diawali Tumplak Wajik (upacara membuat wajik diiringi musik lesung).

Formasi Bregada Pengawal

Sepuluh bregada bergiliran: Wirobrojo (meriam), Bugis (tombak panjang), Patangpuluh (busur), hingga Mataram (gebang gongseng). Setiap bregada 64 prajurit—merujuk usia Nabi—dipimpin Lurah berpangkat Bekel. Nuansa militer ini menegaskan peran Sultan sebagai panglima rohani dan duniawi.

Struktur Gunungan dan Logistik Prosesi

Makna Sosial-Ekologis Perebutan Gunungan

Distribusi Berkah dan Keseimbangan Alam

Masyarakat meyakini serpihan gunungan membawa tuah: padi ditanam kembali sebagai benih unggul; cabai digantung di dapur sebagai tolak bala. Secara ekologi, praktik ini mendorong seed exchange antardesa, memperkaya keanekaragaman varietas lokal. Kajian Balai Litbang Pertanian (2019) menunjukkan benih kacang panjang “gunungan” memiliki daya kecambah 93 %—lebih tinggi daripada pasar (85 %).

Etika Kolektif dan Ketertiban Ritual

Walau perebutan tampak gaduh, terdapat aturan lisan: tidak boleh saling pukul menggunakan bambu; anak-anak diberi prioritas puncuk molo kecil; prajurit tetap mengawal agar gunungan tak roboh sebelum waktu. Prinsip gotong royong teruji: warga yang telah mendapat bagian akan berbagi lagi dengan tetangga—mempraktikkan ta‘awun (tolong-menolong).

Grebeg di Surakarta — Variasi Konteks dan Ragam Gunungan

Keraton Surakarta mempertahankan tiga Grebeg yang mirip Yogyakarta, namun menambah Grebeg Pasa. Gunungan Surakarta rata-rata 7–12 pasangGunungan Jaler (kakung), EstriPanggang (berisi daging panggang kambing), Zakat (beras zakat fitrah), dan Bluntang (hasil kebun pepaya, singkong). Nuansa kratonan Surakarta memadukan langgam karawitan Jawa tengah gamelan pelog, berbeda dengan slendro Sekati Yogyakarta. Jalur kirab melewati Pasar Klewer hingga Gapura Gladag, simbol bahwa berkah raja harus menjangkau sentra ekonomi rakyat.

Dimensi Dakwah dan Pelestarian Lingkungan

Sejarawan melihat Grebeg sebagai hasil dialog dakwah Islam dengan kebudayaan agraris Jawa. Nilai Islam: sedekah (shadaqah), persamaan sosial (siapa pun boleh ikut rebutan), dan ketundukan pada Allah (doa khatib). Nilai kearifan lokal: menjaga keseimbangan papat kelima (gunung, laut, hutan, manusia, istana). Wujudnya berupa larangan menebang pohon ringin kurung di alun-alun; pemanfaatan bahan organik gunungan; dan penggunaan serbuk jerami sebagai mulsa setelah acara.

Grebeg sebagai Warisan Budaya Tak Benda dan Tantangan Modern

Unesco sejak 2018 memasukkan Sekaten (termasuk Grebeg Maulud) dalam tentative list Intangible Cultural Heritage. Tantangannya:

  1. Komersialisasi berlebihan—stan kuliner menutupi jalur kirab;
  2. Regenerasi abdi dalem—pemuda enggan menjadi pembawa gunungan akibat gaji rendah;
  3. Keselamatan penonton—perebutan massal perlu skema crowd control.

Pemerintah DIY menyiapkan manual handling gunungan, pemetaan risiko, serta program Beasiswa Budaya bagi pemuda belajar karawitan & protokol keraton. Digitalisasi arsip Grebeg juga dikerjakan UGM melalui Jogja Digital Heritage Platform.

Penutup — Memaknai Grebeg di Abad Ke-21

Grebeg bukan sekadar pesta rakyat atau tontonan turis; ia adalah suluh kebudayaan yang menyalakan kesadaran syukur, solidaritas, dan tanggung jawab ekologis. Gunungan mengingatkan kita bahwa bumi memberi; sultan (atau pemerintah) harus menyalurkan; rakyat wajib menjaga dan berbagi. Selama prajurit masih menjejak Alun-alun, lonceng molo berdentang, dan benih padi gunungan disemai di sawah, Grebeg akan terus mengikat identitas Jawa—mengafirmasi adagium hamemayu hayuning bawana (merawat keindahan dunia) demi generasi mendatang.


Rizki

Rizki

Rizki Purnama adalah seorang travel content writer berbakat dengan pengalaman dalam menulis tentang destinasi wisata dan petualangan. Ia memiliki kecintaan yang mendalam terhadap dunia perjalanan dan selalu bersemangat untuk berbagi pengalaman dan cerita menarik melalui tulisannya.
https://xplorejogja.com