Tumplak Wajik: Tradisi Pembuatan Gunungan di Keraton Jogja

Tumplak Wajik—kadang ditulis Numplak Wajik—merupakan salah-satu mata rantai terpenting dalam rangkaian Hajad Dalem Grebeg Syawal di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Upacara ini diselenggarakan tiga hari menjelang 1 Syawal—biasanya pada sore 29 Ramadan—di Panti Pareden Kilen, sudut barat-daya Plataran Kemagangan. Secara lahiriah Tumplak Wajik tampak sebagai “pekerjaan dapur” berupa menuang wajik—kue ketan manis—sebagai landasan Gunungan Estri; namun makna batinnya jauh lebih dalam: menyatukan dimensi material (hasil bumi) dengan dimensi spiritual (doa keselamatan), sekaligus menegaskan filosofi keberlimpahan Sultan kepada kawula. Tradisi ini juga menjadi pra-syarat teknis: tanpa “tumplakan” wajik yang padat dan simetris, Gunungan Estri tidak dapat berdiri kokoh selama kirab Grebeg.

Asal-Usul & Evolusi Tumplak Wajik

Tumplak Wajik: Tradisi Pembuatan Gunungan di Keraton Jogja

Sejarawan keraton menjejak akar Tumplak Wajik hingga era Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792). Pada mulanya, Grebeg Syawal hanya menampilkan Gunungan Lanang—lambang “bapak”—serta Gunungan Pawuhan (buah-buahan). Belakangan, Sultan memerintahkan penambahan Gunungan Estri untuk menegaskan konsep dualitas kosmos Jawa—lanang-wadon, purusha-pradana—yang harus seimbang agar jagat tentrem. Karena badan Gunungan Estri tersusun dari jajanan pasar ketan dan singkong (wajik, tiwul, geplak), diperlukan pondasi lengket namun padat: wajik ketan merah-putih. Di sinilah lahir ritus “numplak”—membalik bakul besar wajik ke atas jodhangan (tandu kayu) sambil membaca doa keselamatan.

Kolonial Belanda sempat mencatat upacara ini pada laporan Residen J.H. de Thuijl tahun 1840 sebagai “Toemplek Wadji”, dikategorikan “kermis in de achterste hof” (pasar malam di halaman belakang). Selama pendudukan Jepang 1942-1945 prosesi dipangkas: lesung bambu diganti bedug agar “lebih praktis”, tetapi pasca-merdeka unsur gejog lesung dihidupkan lagi karena diyakini menolak bala. Revolusi fisik 1947-1949 menjadikan Tumplak Wajik sarana mobilisasi pangan: wajik dibagikan kepada laskar rakyat di kota-gerilya Jogja. Pada dekade 1970-an, seiring kebijakan pariwisata budaya DIY, keraton membuka akses tamu terbatas; sejak 1995 Tumplak Wajik resmi dimasukkan kalender event Provinsi. Pandemi Covid-19 memaksa penyederhanaan (2020-2021)—prosesi tetap digelar namun tanpa penonton, disiarkan streaming. Tahun 2024 upacara kembali normal, menarik 1 500 pengunjung domestik-mancanegara.

Struktur Fisik: Bahan, Alat, dan Tata‐Letak

Struktur Fisik: Bahan, Alat, dan Tata‐Letak Tumplak Wajik

Komponen Kuliner

  • Wajik: beras ketan putih & merah dikukus, lalu dimasak bersama gula kelapa, santan tua, daun pandan, dan sedikit garam. Tekstur harus kenyal sekaligus kokoh (indikator: tidak buyar meski dibalik).
  • Tiwul: remah singkong kering (gaplek) yang dikukus ulang; disusun berlapis di atas wajik sebagai “lapisan transisi” bagi sujen.
  • Jajanan hias: geplak, jadah, ceriping gadung, kembang goyang; ditempelkan pada kulit sinjang songket agar gunungan tampak elok.

Rangka & Landasan

  • Jodhangan (Jodhang): rangka kayu jati 80 × 80 cm berkaki empat. Tengahnya dipasang pasak besi Ø 4 cm sebagai sumbu.
  • Kerangka bambu: dibelah tipis, dibentuk kerucut setinggi ± 180 cm; puncak diberi kayu mustaka dililit kue ketan warna-warni.
  • Sujen: lidi/tusuk bambu 25 cm tempat menancap kue ketan; diikat lingkar-melingkar hingga membentuk bukit.

Perlengkapan Sakral

  • Lesung & alu: gelondongan kayu utuh (panjang 2 m) serta 5-7 alu; difungsikan sebagai instrumen gejog lesung.
  • Lulur dlingo-bengle: pasta rempah wangi—akar bengle, rimpang jahe, minyak dlingo—dioles pada pegangan jodhangan untuk “sterilisasi gaib”.
  • Sinjang songket & semekan bangun tulak: dua lembar kain batik motif bangun tulak (penolak pagebluk) mengitari badan gunungan.

Runtutan Prosesi Tumplak Wajik

Runtutan Prosesi Tumplak Wajik

1. Pra-Upacara

Sejak dua bulan sebelum GrebegAbdi Dalem Kanca Abang—divisi logistik keraton—menghimpun bahan: ketan dari Imogiri, gula kelapa Kulon Progo, singkong Gunungkidul. Sepekan menjelang acara, dapur Sekul Langgen menanak wajik dalam kuali tembaga menjadi 600 kg adonan. Sementara itu, Banjar Senggol (pengrajin bambu Magelang) merampungkan kerangka.

2. Kedatangan Rombongan

Sore 26 Ramadan (atau 9 Mulud bila Grebeg Mulud), jam 15.20, pintu Regol Kemagangan dibuka. Rombongan Putri Dalem—biasanya GKR Mangkubumi—memimpin iring-iringan 40 abdi dalem ke Panti Pareden. Di luar pagar, 12 abdi dalem niyaga menabuh lesung irama Gendhing Tundhung Setan; dentam alu diyakini “menghalau makhluk halus”.

3. Pembacaan Doa

Tepat 15.40, Kanca Kaji (ulama keraton) menggumamkan doa pendek berbahasa Arab & Jawa: permohonan keselamatan, lancarnya hasil bumi, serta keberkahan Sultan bagi rakyat. Semua hadirin berdiri, keheningan melarut di tengah aroma gula kelapa hangat.

4. Inti “Numplak”

Bakulan wajik (Ø 60 cm, tinggi 50 cm) diangkat empat abdi dalem. Dalam hitungan kendang, wadah dibalik perlahan di atas jodhangan; adonan menggelinjang lalu “plak!” menempel sempurna—momen inilah yang disebut tumplak. Putri Dalem menepuk lembut puncak wajik sebagai tanda restu. Segera tiwul ditabur merata, kerangka bambu ditegakkan, lalu mustaka menghunjam.

5. Pelilitan Kain & Pengolesan Lulur

Abdi Dalem Keparak mengulir sinjang songket motif kurung kancil mengelilingi kerucut bambu; semekan bangun tulak dilapiskan di atasnya—warna merah-biru kontras dengan putih tiwul. Serentak, tiga abdi dalem menoreh lulur dlingo-bengle pada pinggiran jodhangan, sambil melafazkan “salaamet, salaamet, salaamet”. Lulur sisa diserahkan kepada pengunjung: menurut mitos, bila dioles anak kecil akan terhindar sawan.

6. Penutup & Distribusi Tetes Berkah

Selesai pelilitan, gejog lesung berhenti. Kanca Abang memercik air mawar, menyalakan dupa menyan madu, lalu menabur beras kuning. Putri Dalem berdiri, menyampaikan dawuh singkat: “Mugi Gusti maringi wilujeng rahayu”—semoga Tuhan memberi selamat. Upacara resmi berakhir pukul 16.10. Sampai magrib, tim perakit melanjutkan pemasangan jajanan hias hingga gunungan sempurna.

Makna Filosofis & Spiritualitas

  1. Wajik merah-putih mencerminkan kesatuan raga (darah) dan jiwa (sari santan putih). Manis gula menandakan welas asih Sultan; ketan lengket simbol kebersamaan rakyat.
  2. Tiwul—pangan darurat masa paceklik—menegaskan kepedulian sosial: ingat masa sulit agar tidak lalai di masa makmur.
  3. Gejog Lesung: suara palu pestle di atas lesung agraris mengekspresikan syukur atas panen; gendhing “Tundhung Setan” menyingkirkan hawa negatif.
  4. Dlingo-Bengle adalah dua rimpang penolak bala; pengolesan berarti mensterilkan ruang ritual dari niat angkara.
  5. Sinjang Songket & Semekan Bangun Tulak mengandung motif penangkal penyakit; lilitan melambangkan perimeter perlindungan Sultan bagi warganya.
  6. Putri Dalem yang memimpin menyiratkan peran feminin sebagai sumber kehidupan—selaras fungsi Gunungan Estri sebagai “ibu kosmik”.

Peran Sosial-Budaya & Pariwisata

Peran Sosial-Budaya & Pariwisata Tumplak Wajik

Walau inti Tumplak Wajik bersifat sakral, keraton menyadari potensi edukatif dan ekonomi. Sejak 2012 Tepas Pangulawangen membuka program “Live-in Tumplak” bagi mahasiswa antropologi: magang menanak wajik, belajar huruf Jawa pada label jajanan, dan mendokumentasi gejog lesung. Dinas Pariwisata DIY memasang kuota 250 penonton di tribun Kemagangan—tiket gratis via pendaftaran daring. Pedagang kuliner didorong menjual olahan ketan kreatif: wajik pandan, wajik kopi, dan gelato wajik; omzet 2024 mencapai Rp 180 juta.

Bagi komunitas lokal, upacara ini meneguhkan identitas dan solidaritas: warga Jagalan menjadi pemasok bambu, Dusun Wukirsari memasok batik bangun tulak, sementara Karangtaruna Patehan bertugas kebersihan arena. Praktik gotong-royong lintas kelurahan ini merekatkan hubungan desa-keraton, menepis stigma hierarki feodal.

Pantangan & Tata Krama

  • Abdi dalem niyaga (penabuh lesung) wajib puasa mutih sejak fajar hingga selesai, dilarang bersendawa keras, merokok, atau bercanda vulgar.
  • Penonton tidak boleh menyentuh wajik sebelum upacara rampung; pelanggaran diyakini menyebabkan “nyesek rezeki”.
  • Fotografer harus jongkok bila melintas di muka Putri Dalem—etiket sembah miring.
  • Semua pihak mengenakan busana sopan; wisatawan asing disediakan selendang batik bila memakai celana pendek.

Kesimpulan – Tumplak Wajik sebagai Simbol Keberlanjutan

Tumplak Wajik bukan sekadar “ritual dapur” Grebeg Syawal; ia sari pati filosofi Jawa-Islam tentang keseimbangan, syukur, dan solidaritas. Di atas bakul wajik, keraton menumpuk harapan agar rezeki rakyat lengket sekuat ketan; melalui gejog lesung, negeri diingatkan bahwa bunyi pedesaan tetap nadi kota. Ketika Gunungan Estri akhirnya diarak dan diperebutkan, sesungguhnya yang dibagikan bukan hanya jajanan—melainkan warisan nilai yang menyehatkan peradaban: manis rasa, kuat struktur, dan hangat kebersamaan. Selama lesung masih berdentang di Panti Pareden, selama dlingo-bengle masih menguar di sore Ramadan, Tumplak Wajik akan terus meneguhkan Yogyakarta sebagai tanah di mana spiritualitas dan budaya berpadu seharmoni wajik ketan.


Rizki

Rizki

Rizki Purnama adalah seorang travel content writer berbakat dengan pengalaman dalam menulis tentang destinasi wisata dan petualangan. Ia memiliki kecintaan yang mendalam terhadap dunia perjalanan dan selalu bersemangat untuk berbagi pengalaman dan cerita menarik melalui tulisannya.
https://xplorejogja.com