Grebeg Maulud sebagai Titik Temu Spiritualitas, Budaya, dan Politik Keraton

Pada setiap tanggal 12 Rabiulawal kalender Hijriah, Keraton Yogyakarta Hadiningrat memancarkan denyut budayanya melalui Grebeg Maulud, puncak rangkaian peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Di mata awam, pesta rakyat ini identik dengan arak-arakan gunungan hasil bumi yang diperebutkan ribuan warga. Akan tetapi, di balik gemuruh gamelan sekati, dentang meriam, dan sorak penonton, Grebeg Maulud menyimpan lapisan makna yang jauh lebih kompleks—sebuah sintesa antara teologi Islam, kosmologi Jawa, legitimasi kekuasaan keraton, sekaligus instrumen diplomasi kultural pada era global.

Secara etimologis, kata “grebeg” berakar dari istilah Jawa gumrebeg yang berarti “gemuruh, riuh, penuh gegap gempita”. Pilihan kosakata tersebut menegaskan bahwa keramaian bukan sekadar efek samping, melainkan elemen esensial: hiruk-pikuk massa dipandang sebagai perwujudan syukur kolektif atas limpahan rahmat ilahi. Maulud merujuk kepada Maulid Nabi, momentum sakral yang menegaskan keteladanan Rasul sebagai pusat orientasi moral masyarakat Muslim. Dengan demikian, Grebeg Maulud menjadi “ruang tengah”—menghubungkan langit wahyu dengan bumi tradisi agraris.

Kerangka simbolik tersebut secara konsisten ditata lewat lima komponen: (1) Ritual sakral di Masjid Gedhe Kauman yang meneguhkan tauhid; (2) Pawai militer-simbolik sepuluh bregada prajurit, menampilkan kesiapsiagaan raja melindungi rakyat; (3) Gunungan sebagai representasi kemakmuran negeri; (4) Partisipasi rakyat melalui perebutan berkah; dan (5) Narasi historis yang merekatkan legitimasi dinasti Mataram Islam sejak abad XV. Melalui lima pilar itu, Grebeg Maulud tidak sekadar “festival karnaval”, melainkan instrumen pelestarian etika rukun (harmonia), gotong-royong, dan keadilan distributif khas Jawa.

Jejak Sejarah & Akar Spiritualitas Grebeg Maulud

Jejak Sejarah & Akar Spiritualitas Grebeg Maulud

Runtutan Grebeg Maulud tidak terlepas dari dakwah kultural Sunan Kalijaga di pesisir Demak pada pertengahan abad XV. Sang wali menyadari bahwa ajaran Islam tidak cukup disampaikan lewat khotbah normatif; ia harus “dijahit” ke dalam kain tradisi lokal. Maka lahirlah metode Sekaten: menabuh gamelan raksasa di pelataran Masjid Agung Demak, memanggil massa untuk mendengar syahadatain (dua kalimat syahadat). Pada puncaknya, sang sultan menghadiahkan tumpeng raksasa—cikal bakal gunungan—sebagai simbol sedekah negara.

Formula efektif ini kemudian diadopsi Kerajaan Mataram. Ketika Perjanjian Giyanti 1755 memecah Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta, Sri Sultan Hamengku Buwana I mengukuhkan Grebeg Maulud sebagai protokol kenegaraan. Langkah tersebut punya tiga fungsi strategis:

  1. Legitimasi Spiritual — Sultan tampil sebagai penjaga syariat, memperingati kelahiran Nabi dengan prosesi khidmat.
  2. Perekat Sosial — Adat perebutan gunungan menjembatani jarak sosial antara istana dan rakyat: makanan kerajaan “turun” ke tangan jelata.
  3. Stabilisasi Politik — Keikutsertaan sepuluh bregada prajurit merepresentasikan kesiapan militer, mengintimidasi potensi pemberontakan tanpa kekerasan nyata.

Seiring waktu, Grebeg Maulud menjelma menjadi “hak paten” kebudayaan Yogyakarta. Meski penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, hingga revolusi 1945 mengguncang Nusantara, tradisi ini bertahan karena fleksibel: ia dapat menyesuaikan narasi—dari “doa panen” pada masa agraris, menjadi “syukur kemerdekaan” era republik, hingga “ikon pariwisata spiritual” abad XXI. Namun esensi teologis tak berubah: sedekah raja kepada rakyat demi keberkahan negeri.

Struktur Prosesi: Dari Miyos Gangsa hingga Arak-Arakan Gunungan

Struktur Prosesi: Dari Miyos Gangsa hingga Arak-Arakan Gunungan

Rangkaian Grebeg Maulud berlangsung sepekan, terkunci dalam urutan ritus yang mapan sejak masa HB I.

Miyos Gangsa – Gamelan Sekati Keluar Keraton

Empat belas hari sebelum puncak, dua perangkat gamelan sekati keramat—Kangjeng Kyai Guntur Madu dan Kangjeng Kyai Naga Wilaga—diarak dari Bangsal Prabayeksa ke Pagongan utara-selatan Masjid Gedhe. Prosesi dipimpin abdi dalem berpakaian jajag putri. Dentuman kendang dan gong bertangga nada slendro dipercaya menebar vibrasi kedamaian sekaligus mengundang rakyat hadir.

Numplak Wajik & Bethak – Mempersiapkan Isi Gunungan

Dua hari menjelang 12 Rabiulawal, Kompleks Kamagangan disesaki abdi dalem Pawon menanak nasi gurih, mengiris gula aren, dan menumbuk ketan. Ritual Numplak Wajik menempatkan kue wajik di puncak kerangka bambu, melambangkan zigot kehidupan: “setiap keberkahan lahir dari rahim ibu”. Tradisi Bethak mematangkan nasi putih di kuali raksasa, mengingatkan manusia bahwa rezeki bersumber dari bumi dan keringat petani.

Kondur Gangsa – Memulangkan Gamelan

Malam 11 Rabiulawal pukul dua dini hari, gamelan sekati dihentikan; dipulangkan ke keraton melalui prosesi Kondur Gangsa. Penutupan ini menandai transisi dari edukasi dakwah menuju perayaan karunia—ilmul yakin beralih ke haqqul yakin.

Pesowanan Garebeg & Arak-Arakan Gunungan

Fajar 12 Rabiulawal, Sultan—atau Gubernur DIY selaku Khalifatullah ing Ngayogyakarta—memimpin Pesowanan Garebeg. Enam gunungan keluar lewat Regol Danopratopo diiringi sepuluh bregada: Wirabraja, Dhaeng, Patangpuluh, Jagaraga, Prawirotomo, dll. Empat gunungan menuju Masjid Gedhe Kauman; satu ke Kantor Gubernur DIY (menegaskan kedudukan sipil-militer) dan satu ke Pura Pakualaman (simbol harmoni dua kadipaten). Barisan ditutup pasukan Bergada Mataram sambil mengusung bendera Merah-Putih—mengafirmasi identitas republik dalam tradisi monarki.

Gunungan: Komposisi, Logistik, dan Keyakinan Berkah

Gunungan: Komposisi, Logistik, dan Keyakinan Berkah

Enam Tipe Gunungan dan Filosofinya

  1. Gunungan Kakung (kerucut kacang panjang, cabai merah, telur bebek) – maskulinitas, kekuatan perlindungan.
  2. Gunungan Estri (keranjang bunga kering, wajik, roti gambang) – feminitas, rahim kehidupan.
  3. Gunungan Pawohan (buah segar dalam anyaman janur) – kesuburan bumi.
  4. Gunungan Gepak (puncak datar dari apem dan kue tetel) – kemapanan sosial.
  5. Gunungan Dharat (ketela, kacang tanah) – akar pangan rakyat kecil.
  6. Gunungan Kutug/Bromo (tahun Dal saja, beras dan kemenyan mengepul) – penolak bala delapan-tahunan.

Rantai Pasokan Hasil Bumi

Seluruh bahan diambil dari 35 kapanéwon se-DIY: Kulon Progo menyumbang cabai, Bantul pisang dan kelapa, Sleman telor itik, Gunungkidul umbi-umbian, dan Kota Yogyakarta kue kering. Model ini bukan kebetulan; ia menciptakan ekonomi sirkular: petani memperoleh prestise, kota memperoleh stok berkah.

Tata Nilai Perebutan Gunungan

Pukul 11.00, begitu Kyai Penghulu selesai membaca doa, tali pengikat gunungan dipotong—rakyat menyerbu. Walau tampak chaotic, terdapat kodhe etik: tilang bagi perokok, larangan membawa senjata tumpul, anak-anak diprioritaskan mendapat pucuk wiji kacang. Bagi masyarakat, mendapat sehelai cabai berarti “api semangat mencari nafkah”; nasi gurih disimpan di lumbung agar padi terhindar hama. Kepercayaan empiris? Tentu. Namun antropolog melihatnya sebagai social glue yang menyatukan kelas sosial dan memperlancar redistribusi protein-karbohidrat di wilayah urban.

Dinamika Kontemporer: Pelestarian, Pariwisata, dan Tantangan Modern

Dinamika Kontemporer: Pelestarian, Pariwisata, dan Tantangan Modern

Grebeg Maulud yang sering diadakan di Jogja kini tercatat dalam Warisan Budaya Takbenda Indonesia (Kemendikbud 2013) dan masuk tentative list UNESCO sebagai bagian “Yogyakarta Historic Axis.” Pengakuan itu membangkitkan peluang sekaligus problem.

  1. Komersialisasi Berlebihan – Deretan tenda kuliner kadang menutup koridor kirab; pemerintah kota kini menerapkan zonasi kuliner 300 m dari alun-alun.
  2. Keamanan Massa – 2022 tercatat 27 orang pingsan karena desak-desakan. Tahun 2024, tim crowd control melibatkan Basarnas dan PMI, menambah jalur evakuasi radial.
  3. Regenerasi Abdi Dalem – Rerata usia pembawa gunungan 55 tahun. Keraton menggagas program “Duta Muda Sekaten” merekrut mahasiswa untuk magang protokol.
  4. Digitalisasi – Paguyuban Juru Saji bekerja sama dengan start-up heritage tech membuat live‐streaming 360° Grebeg, disertai subtitle narasi empat bahasa.

Terobosan tersebut membuktikan bahwa tradisi bukan artefak statis—ia adaptif tanpa kehilangan ruh. Seperti busur jemparing yang diregangkan untuk menembak jauh, Grebeg Maulud meregangkan diri menuju masa depan: menggandeng teknologi, merangkul wisatawan, namun tetap memelihara inti teologis sedekah raja kepada rakyat.

Penutup — Jembatan Masa Lalu dan Masa Depan

Melalui Grebeg Maulud, Yogyakarta memperlihatkan cara elegan memadukan identitas Islam dengan kebudayaan Jawa: spiritualitas bersanding harmoni, sedekah negara bertemu solidaritas rakyat. Setiap tumpukan kacang panjang, tiap keping wajik, hingga bunyi gamelan sekati adalah isyarat bahwa kemakmuran harus berbagi; kekuasaan wajib mengayomi.

Selama lonceng molo masih berdenting di puncak gunungan, selama prajurit Wirabraja masih melangkah tegap di antara lautan manusia, Grebeg Maulud akan terus menjadi cermin peradaban: menampakkan wajah masyarakat Yogyakarta yang plural, toleran, dan teguh memelihara warisan leluhur di tengah arus zaman.


Rizki

Rizki

Rizki Purnama adalah seorang travel content writer berbakat dengan pengalaman dalam menulis tentang destinasi wisata dan petualangan. Ia memiliki kecintaan yang mendalam terhadap dunia perjalanan dan selalu bersemangat untuk berbagi pengalaman dan cerita menarik melalui tulisannya.
https://xplorejogja.com