Hari pertama bulan Syawal—yakni Idulfitri dalam penanggalan Hijriah—bukan sekadar momentum ibadah bagi masyarakat Yogyakarta; ia adalah panggung bagi Grebeg Syawal, sebuah hajad dalem (upacara agung keraton) yang menebarkan sedekah raja, merajut persaudaraan rakyat, dan mengabarkan legitimasi kultural Kasultanan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Bersama Grebeg Besar (10 Zulhijah) dan Grebeg Mulud (12 Rabiulawal), Grebeg Syawal membentuk tripartit ritus Islam-Jawa yang telah dilestarikan sejak masa Sultan Hamengku Buwana I (abad XVIII).
Daftar Isi
Sejarah Grebeg di Keraton Yogyakarta
Rajawedha: Sedekah Raja pada Epos Jawa Kuna
Tradisi memberi sedekah oleh penguasa sejatinya telah dikenal dalam budaya Jawa kuna sebagai Rajawedha. Di masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, raja mempersembahkan hasil bumi dan hewan kurban kepada dewa-dewa demi kemakmuran negara. Upacara berlangsung di halaman istana atau mandala suci, menggabungkan musik gamelan tua dan tarian penolak bala.
Refleksi Islam: Walisongo Menciptakan Sekaten
Memasuki abad XV, Islam melebur dengan kearifan lokal melalui gagasan Sekaten. Sunan Kalijaga dan Raden Patah membangkitkan Rajawedha dalam format baru—dihubungkan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Gamelan berukuran raksasa ditabuh di pelataran Masjid Demak untuk menarik khalayak mendengar syahadatain. Sedekah raja “diturunkan” dalam bentuk tumpeng raksasa berisi pangan—cikal bakal gunungan.
Standardisasi Hamengku Buwana I (1755 M)
Setelah Perjanjian Giyanti (1755) melahirkan Kasultanan Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwana I mewarisi tradisi Demak dan Mataram. Beliau menetapkan tiga Grebeg resmi:
- Grebeg Syawal (1 Syawal) – rasa syukur usai puasa Ramadan.
- Grebeg Besar (10 Zulhijah) – refleksi kurban Nabi Ibrahim.
- Grebeg Mulud (12 Rabiulawal) – puncak Sekaten.
Sang Sultan menata ulang protokol: jumlah gunungan, rute kirab, komposisi prajurit, serta kewajiban bupati mancanegara memberikan upeti.
Evolusi Pasca Integrasi Republik
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) Pisowanan Garebeg berkurang, namun tidak terhenti. Setelah 17 Agustus 1945, Kesultanan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia; sistem upeti dihapus, tetapi Grebeg tetap lestari sebagai kekayaan budaya tak benda. Era 1970-an, pemerintah DIY mengemas Grebeg untuk pariwisata—menarik pelancong domestik maupun mancanegara. UU Keistimewaan 2012 kemudian menstandar tata upacara: lima jenis gunungan, tujuh buah total, tiga lokasi distribusi.
Ragam Grebeg di Yogyakarta – Spesifikasi Syawal
Grebeg Syawal versus Besar dan Mulud
- Grebeg Syawal – dilaksanakan 1 Syawal. Nuansa kegembiraan fitri; prajurit mengenakan seragam cerah.
- Grebeg Besar – 10 Zulhijah; identik dengan kurban, penekanan sedekah daging.
- Grebeg Mulud – 12 Rabiulawal; puncak Sekaten, arak-arakannya paling besar, melibatkan gunungan kutug pada tahun Dal.
Mengapa Syawal?
Secara teologis, Idulfitri adalah climax spiritual Ramadan: individu kembali fitri (suci). Keraton menerjemahkannya sebagai “pulang ke asal kebaikan”; maka Sultan menyalurkan limpahan rezeki. Gunungan yang diarak memuat simbol “gizi” bagi ragawi dan ruhani rakyat, mempertegas konsep Islam tentang zakat fitrah—pembersih jiwa dan penjamin pangan dhuafa.
Anatomi Gunungan Grebeg Syawal
Lima Macam Gunungan & Maknanya
Jenis Gunungan | Jumlah | Komposisi Utama | Makna Filosofis |
---|---|---|---|
Lanang/Kakung | 3 | Kacang panjang, cabai merah, kelapa, telur itik | Sifat pelindung (maskulinitas Sultan) |
Wadon/Estri | 1 | Kue wajik, roti gambang, bunga telon | Rahim kemakmuran, feminitas bumi |
Darat | 1 | Ketela pohon, ubi, kacang tanah | Kekuatan akar, keuletan petani |
Gepak | 1 | Apem, intip, rengginang, jeruk purut | Persatuan lapisan sosial |
Pawuhan | 1 | Buah segar (pisang raja, jambu, nangka, manggis) | Kesuburan dan regenerasi |
Total gunungan Grebeg Syawal = 7 (tiga kakung empat jenis lain masing-masing satu), persis ketentuan pasal tata upacara Keraton pasca-2012.
Struktur Fisik
- Kerangka bambu disusun kerucut (lanang) atau tabung (wadon).
- Molo (sirah) dicat merah, paku emas, dilengkapi lonceng perunggu.
- Awak dililit anyaman janur, ditempeli pangan kering.
- Jangga kayu silang sebagai pegangan.
- Gembol bola kain kuning di dasar, simbol bumi Nusantara.
Sumber Logistik
Keraton mengeluarkan “wilayah giliran” untuk donor hasil bumi:
- Kulon Progo – cabai, kacang panjang;
- Bantul – kelapa, pisang;
- Sleman – telur itik;
- Gunungkidul – ketela, ubi;
- Kota Yogyakarta – kue kering.
Model ini menjaga disparitas pertanian—setiap kapanéwon merasa “terlibat” dalam ritual istana.
Persiapan Ritus Grebeg Syawal
Gladireksik Prajurit (Latihan Lapangan)
Minggu terdekat sebelum 1 Syawal, sore hari, sepuluh bregada berbaris di Alun-alun Utara mengulang formasi: Wirabraja, Dhaeng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Surakarsa, Bugis plus dua bregada Pakualaman (Lombok Abang & Plangkir). Latihan memastikan sinkronisasi langkah, aba-aba bedil, dan posisi pengawalan gunungan.
Numplak Wajik – Simbol Rahim Kehidupan
Tiga hari sebelum Grebeg, Panti Pareden (Plataran Kamagangan) ramai oleh abdi dalem Pawon. Mereka menumbuk ketan, menggodok gula aren, lalu “menumplak” (menanam) wajik di puncak kerangka gunungan estri. Tarian lesung-alu disertai tembang Ilir-Ilir bergema; artinya: “bangunlah, tanam padi, panenlah.” Tradisi ini menandai start rangkaian perakitan gunungan.
Bethak – Memasak Nasi Fitri
Malam takbiran, dapur istana menanak sembilan kawah nasi yang kelak dituangkan ke “jantung” gunungan kakung. Sembilan (9) melambangkan wau suci dalam aksara Jawa, menandakan puncak keagungan.
Baca Juga: Masjid Kotagede, Masjid Tertua di Yogyakarta
Pelaksanaan Hari H Grebeg Syawal
Prosesi Awal di Plataran Kamandhungan Lor
Pukul 07.00 WIB, tujuh gunungan tersusun rapi di emper Bangsal Pancaniti. Narakarya—tenaga angkut—datang bergiliran dari 78 desa se-DIY, mengenakan ikat kepala kuluk hijau tua. Setelah doa tahlil dipimpin Penghulu Keraton, prajurit Wirabraja menembakkan salvo meriam—tanda kirab dimulai.
Susunan Arak-Arakan
- Bregada Wirabraja – tombak panjang, baju merah-hitam.
- Bregada Dhaeng – panji kuning, pedang pendek.
- Pembawa Gunungan Kakung I → Masjid Gedhe.
- Bregada Patangpuluh – busur anak panah.
- Pembawa Gunungan Kakung II → Kepatihan.
- Bregada Jagakarya & Gunungan Estri.
- Bregada Prawiratama & Gunungan Pawuhan.
- Bregada Nyutra & Gunungan Gepak.
- Bregada Ketanggung & Gunungan Dharat.
- Bregada Surakarsa & Bugis mengapit iring-iringan.
- Di belakang, Bregada Pakualaman membawa Gunungan Kakung III ke Pura Pakualaman.
Rute & Serah Terima
- Masjid Gedhe Kauman – Gunungan diserahterimakan oleh Penghageng Tepas Panitrapura kepada Takmir Masjid. Doa ifadah dibacakan, lalu tali gunungan dipotong.
- Kantor Kepatihan – Gunungan Kakung II simbol sedekah kerajaan kepada eksekutif sipil (Gubernur DIY).
- Pura Pakualaman – Pengageng Kadipaten menerima Gunungan Kakung III, mengukuhkan ikatan dinasti Paku-Alaman dengan Kasultanan.
Perebutan Berkah
Begitu doa usai, ribuan warga menyerbu gunungan. Cabai merah disematkan di warung agar laris, kacang panjang ditanam di sawah, ketela direndam obat hama, kue apem dimakan anak-anak untuk “manisnya hidup”. Perebutan biasanya selesai dalam lima menit; yang tersisa hanya kerangka bambu.
Dimensi Sosio-Politik & Budaya
Sedekah Raja – Legitimasi dan Keadilan Distributif
Dalam kosmologi Jawa, raja adalah hamengku hamengkoni—penjaga kesejahteraan alam dan manusia. Dengan memberikan hasil bumi, Sultan menegaskan kewenangan sekaligus kewajiban sosial. Pada periode kolonial, bupati mancanegara membawa upeti; kini diganti simbolis “gunungan ke Kepatihan” sebagai relasi raja-pemerintah daerah.
Gotong Royong & Etika Kolektif
Seluruh proses—mulai logistik bahan hingga narakarya—melibatkan desa-desa lintas kabupaten. Rotasi tugas memastikan pemerataan partisipasi sekaligus mempertahankan jaringan solidaritas antar-wilayah.
Wisata Budaya dan Ekonomi Kreatif
Sejak 1970-an, Grebeg Syawal menjadi magnet wisata. Pedagang kuliner “sego gurih sekaten”, pengrajin suvenir wayang, hingga hotel Malioboro meraih manfaat ekonomi. Dinas Pariwisata DIY melaporkan kunjungan 2024 menembus 70.000 orang selama lima hari lebaran, menghasilkan sirkulasi ekonomi ± Rp 58 miliar.
Tantangan & Upaya Pelestarian Kontemporer
- Keamanan Massa – Keraton, Pemkot, dan BNPB kini memasang barrier radial, CCTV, serta tim rapid response medis.
- Regenerasi Abdi Dalem – Program Magang Keraton bagi mahasiswa budaya; honor narakarya diperbarui UMK.
- Digitalisasi – Live streaming 360° bekerjasama dengan kampus ISI, membuat arsip virtual untuk edukasi global.
- Ketahanan Bahan Gunungan – Litbang Pertanian DIY meneliti varietas kacang panjang anti layu agar gunungan tidak rontok sebelum sampai masjid.
Grebeg Syawal sebagai Cermin Kebudayaan Resilien
Grebeg Syawal bukan sekadar parade folklor Idulfitri—ia adalah manuskrip hidup tentang bagaimana Islam, adat Jawa, dan struktur politik monarki dipadukan menjadi ritual publik yang bertahan lebih dari dua setengah abad. Melalui tujuh gunungan, Sultan membumikan konsep zakat fitrah dalam wujud sedekah agraris; melalui bregada prajurit, keraton memvisualkan kesiapsiagaan moral; melalui perebutan berkah, rakyat merayakan solidaritas dan harapan panen.
Selama lonceng molo masih berdenting, cabai gunungan ditanam di sawah, dan narakarya desa bergantian menggotong sedekah raja, Grebeg Syawal akan terus meneguhkan identitas Yogyakarta: kota budaya, kota toleransi, dan kota yang tak letih mensyukuri rahmat Ilahi.